Aku Jatuh Cinta | Part 2
Dan kebenaran yang selanjutnya aku tahu adalah Bumi memang orang yang baik. Semua terbukti bukan hanya aku saja yang kehabisan tiket tapi Bumi juga. Mungkin naik bus akan jauh lebih lama dibandingkan dengan kereta. Namun jika teman perjalananku kali ini adalah Bumi, sebanyak apapun waktu sepertinya aku siap.
Kata Bumi keberangkatan Bis sekitar satu jam lagi, dia mengajakku untuk makan di warung seberang terminal. Sebenarnya ini pertama kalinya aku pergi ke Malang pakai Bis. Semenjak kecil aku sudah trauma dengan Bis, pengalaman buruk saat mabuk kendaran dan rasa lelah yang luar biasa selama perjalanan membuatku enggan untuk naik bis. Meskipun jaraknya dekat, dalam hati aku berharap tidak melakukan hal memalukan seperti muntah di pakaian Bumi.
“Udah kenyang mbak Nindy makannya?”
“Oh udah kok, kamu panggilnya Nindy aja gak usah pakek mbak”
Tibalah waktunya bis berangkat, jujur jantungku berdetak sangat kencang, aku tidak tahu apakah karena sebangku dengan Bumi atau karena rasa takutku akan naik bis. Aku selalu membuang muka kea rah jendela. Aku yakin saat ini wajahku pasti sangat pucat. Selama perjalanan tak ada obrolan diantara kami, aku melihat Bumi sedang sibuk membaca buku. Hatiku masih merasakan kegelisahan, rasanya perutku mulai bergejolak. Lebih baik aku paksakan diri untuk tidur saja.
“kamulah satu-satunya…. Kamulah satu-satunya…. Kamulah satu-satunya.. Maafkan aku selama ini..”
Suara nyanyian yang terdengar lirih. Aku tidak tahu suara siapa ini, mataku terbuka sedikit. Pandanganku masih tidak jelas, tampak dua tangan yang sedang bemain dengan ponsel. Aku mencoba untuk memperjelas penglihatanku namun rasa kantuk mengalahkan itu.
Aku harap setelah mataku terbuka aku telah sampai di kota Malang. Aku benar-benar tidak berada di dalam bis ini terlalu lama. Rasanya perutku mulai sakit, benar-benar campur aduk tidak jelas apa yang terjadi dalam perutku. Semakin lama rasa sakit itu semakin mengganggu. Tidurku semakin tidak nyenyak, seketika mataku dan mulutku terbuka.
HUOOOKKK….
Hal yang aku takutkan terjadi, aku muntah di baju Bumi. Dia yang tadinya terlelap menjadi terbangun. Jujur aku sendiri jijik dengan kondisi ku sekarang, apalagi Bumi. Namun bukannya menjauh Bumi langsung malah dengan pelan membersihkan mulutku dengan tisu. Dia melap keringat di dahiku dengan tangannya sendiri. Aku bahkan tak membayangkan betapa kucelnya mukaku saat ini. Pasti aku jelek sekali.
Bis yang kami tumpangi berhenti di sebuah pom bensin. Karena ulahku semua penumpang mengeluh merasakan bau di dalam bis, selain itu kernet bis dan pak supir harus membersihnya. Terlebih Bumi jam 11.00 ia terpaksa harus mandi. Aku duduk termenung di pelataran mushola pom ini. Badanku rasanya sangat lemas sekali, rasanya aku ingin sekali menangis meminta dijemput Mamah. Tapi please itu sangat gak mungkin terjadi. Aku menyandarkan badanku, liburan ke Malang yang aku kira akan menyenangkan ternyata diawali dengan hal yang memalukan.
“Nin kamu nggakpapa? Butuh obat nggak atau masih pusing?”
“Perut aku jadi laper, tapi aku takut kalau makan nanti muntah lagi.”
“Yaudah kamu tunggu sebentar di sini.”
Aku hanya mengangguk, jujur aku malah menjadi merepotkan untuk Bumi. Dia benar-benar merawatku dengan baik, di membelikanku segelas teh hangat, mi cup yang hanya ku seruput kuahnya saja. Hingga dia memijat kepalaku. Sungguh belum pernah aku merasa diperhatikan sampai sejauh dengan cowok. Apalagi baru ku kenal beberapa jam yang lalu.
Pak supir memberikan aba-aba untuk masuk ke dalam bis lagi, aku menggandeng tangan Bumi. Dibalik tubuhnya yang besar ternyata dia seorang pria yang benar lembut. Bahkan aku sendiri bisa sedekat ini karena kebaikan dan kelembutan hati yang dimilikinya.
“Kamu tahu nggak salah satu cara aku biar nggak mabuk kendaraan?”
Aku menggeleng.
“Dengerin musik sambil nyanyi” Bumi memasangkan salah satu earphonenya ke telingaku. Kamulah satu-satunya yang ternyata mengerti aku maafkan aku selama ini… yang sedikit melupakanmu~
Bumi mengajakku bernyanyi pelan, sepertinya suara yang aku dengar tadi siang adalah suara Bumi. Aku tidak sempat bertanya kenapa dia sangat menyukai lagu ini? Padahal ini adalah lagu lawas. Aku juga bingung kenapa aku jadi ikut bernyanyi?
Pagi ini, tepat pukul 05.30 pagi kami telah sampai di kota Surabaya jarak dari Surabaya ke kota Malang sekitar 2 jam. Tandanya perjalananku dan Bumi akan selesai. Aku menatap Bumi yang keluar dari pintu Mushola. Aku heran biasanya bis malam tidak peduli waktu sholat dan meminta penumpangnya untuk menjamak sholat. Tapi kenapa bis yang kali ini aku tumpangani kali ini sangat pengertian dengan penumpangnya. Sholat 5 waktu tidak pernah terlewatkan, dan insiden tadi malam jadi waktu istirahat setelah makan siang.
“Hei! Ngalamun aja. Kamu udah sholat?”
“lagi nggak boleh sholat. Emm… nggak kerasa udah di nyampe Surabaya ya”
“Iya cepet juga, kalau naik kereta mungkin lebih cepet.”
“Btw sorry ya soal semalem, aku bener-bener nggak sengaja.”
“Iya santai aja, harusnya kalau kamu mau mabuk kendaraan bilang aja. Kan aku bisa nyiapin P3K. oh ya karena kemarin kamu tidur terus kita jadi nggak banyak ngobrol”
“Iya, sebenarnya aku sudah lama nggak naik bis. Terakhir kali naik bis Cuma waktu SD kelas 2, dan jaraknya cuma Jakarta – Banten doang. Karena waktu itu jalanan macet perjalanannya terasa sangat lama. Aku juga muntah-muntah waktu itu, dan sesampainya di Banten aku langsung bilang ke Mamah kalo gak mau naik bis lagi.”
“Sorry Nin, aku malah jadi nggak enak sama kamu. Harusnya aku nggak maksa kamu buat naik bis, pasti selama perjalanan kamu tersiksa banget ya.”
“Udah gak usah minta maaf, kamu udah ngerawat aku dengan benar kok!”
Obrolan kami terus berlanjut, menurutku jarak antara Surabaya dan Malang yang ku rasa jauh menjadi dekat. Selama perjalanan Bumi selalu bercerita banyak hal, ternyata dia adalah seorang atlet “Rock Climbing”. Mendengar itu aku langsung kagum dengannya. Pasti keseharian dia dipenuhi dengan hal-hal yang memacu adrenalin.
“Bumi itu tempat kita berpijak, Bumi juga namaku. Jadi saat setiap aku memanjat tebing, aku merasa bumi sedang memanggilku.”
Kalimat yang puitis untuk seorang cowok seperti Bumi. Aku tak bisa merespon apapun selain tersenyum padanya. Mata kami saling bertatapan, tangan Bumi yang besar menyentuh pipiku yang mungkin lebih kecil dari tangannya. Aku merasakan jari jemarinya yang mengelus-elus. Aku tidak sadar dan reflek langsung memeluknya, dan kebetulan saja suasana bis sangat sepi. Suasana dalam bis seakan sangat mendukung hampir sebagian penumpang di sini tertidur pulas. Tatapan kami semakin dalam, pelahan aku mendekatkan wajahku dengan wajah Bumi. Aku ingin untuk perpisahan terakhir kami kenanglah ini Bumi.
Aku mengecup hidungnya yang mancung, bagiku itu adalah lambang terima kasih untuk Bumi. Aku saling memberikan senyuman, pagi ini kami layaknya seorang pengantin yang sedang ingin berbulan madu. Semakin halus Bumi mengelus pipiku dengan kedua tangannya, dan semakin dalam aku menatap Bumi.
Tepat pukul 08.00 kami telah sampai di terminal Arjosari Malang. Tepat di pintu gerbang keluar, tanganku dan Bumi masih saling bergandengan. Jujur aku ingin perjalanan kali ini tidak berakhir seperti ini. Aku ingin perjalanan ini berakhir pada status pasangan kekasih.
“Kita harus berpisah.”
“Iya, terima kasih Bumi. Aku ingin sekali memelukmu”
Bumipun tersenyum tanpa pikir panjang, ia kemudian memelukku. Dalam pelukannya aku bercerita dan sekaligus berharap.
“Tujuanku ke Malang adalah untuk menemui saudaraku yang menikah. Setiap acara keluarga banyak orang yang membawa pasangannya, jadi bolehkah kamu menemaniku dan menjadi pasanganku?”
Mendengar itu Bumi melepaskan pelukannya. Ia menundukkan kepala, jujur saja meskipun baru mengenalnya satu hari saja. Aku merasa sangat yakin dengannya, aku tak peduli meskipun Ia menganggapku sebagai wanita murahan sekalipun. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku sebelum akhirnya kami berpisah.
Bumi mengangkat kembali kepalanya dan memandangku. Ia masih saja memberikan senyuman tapi kali ini senyumannya begitu masam.
“Aku sudah punya pacar di Malang Nin. Aku tak bisa mengkhianatinya.”