Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 3
Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 3
Ruang kepala sekolah menjadi sangat panas. Aku mandekap erat tangan Papah. Kepala sekolah sepertinya kebingungan harus meminta maaf seperti apa. Sedangkan mereka, memasang muka masam dan penuh kebencian.
“Kami paham betul bagaimana perasaan Bapak. Jadi mereka akan mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka.”
“Menurut Bapak sebagai kepala sekolah hukuman apa yang pantas untuk mereka?”
“Kami akan memberikan skorsing selama 3 minggu dan point 50 atas kenakalan mereka.”
“skorsing 3 minggu? Apa itu cukup pak dengan trauma yang dialami anak saya? Bapak tahu, tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah Kriminal. Bapak yakin video yang rekaman anak saya sudah dihapus di ponsel mereka? Apa bapak tidak mencurigai jika mereka punya Salinan yang lain?”
“Mohon tenang sebentar pak, percakapan kita bisa mempengaruhi kondisi psikologis murid-murid?”
“Anak saya sudah mengalami trauma psikologis oleh murid bapak. Apa bapak sebelumnya mencari Informasi mengenai anak saya? Apa bapak sempat bertanya dengan teman sekelas anak saya?”
“Saya mengerti perasaan Bapak, tapi mohon tenang sebentar, masalah ini tidak akan selesai jika menanganinya dengan emosi.”
“Anak Bapak baik-baik saja, apa dia pernah mendapatkan tindakan bully dari teman-temannya?”
Aku semakin menggenggam erat tangan Papah. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Papah semarah ini. Aku takut… meskipun Papah tidak memarahiku. Papah menggenggam tanganku. Aku tahu semua yang dilakukannya adalah untuk melindungiku.
“Sejak umur 7 tahun, anak saya terdiagnosis komplikasi jantung. Dokter bilang jika usianya hanya sampai 20 tahun. Saya dan istri mati-matian untuk mematahkan diagnosis itu, saya ingin menciptakan kehidupan yang bahagia untuk putri saya. Kehidupan layaknya remaja normal lainnya, yang punya banyak teman yang sayang sama anak saya. Sampai tega hati saya menyekolahkan anak saya kemari padahal itu bukan keinginannya. Nak… anak saya memang tidak dibolehkan dokter untuk berolahraga fisik, karena kelelahan dapat membuat jantung bekerja lebih keras, obat yang kalian pikir itu mainan adalah obat yang harus dia minum.”
Aku memeluk Papah, dulu aku sangat marah jika Papah membahas ini di depan orang lain. Aku tidak mau terlihat lemah Pah. “Putri kuat Pah” ucapku sungguh pelan. Nafas Papah mulai berat, nadanya terdengar agak dalam.
“Putri selalu marah jika saya membahas ini. Saya berharap besar terhadap kebijakan Bapak. Saya minta hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Jika sampai video anak saya tersebar saya akan menuntut pihak sekolah. Dulu sekolah ini menjadi kenangan indah bagi saya, tapi malah menjadi hal buruk untuk Putri.”
Papah mengajakku untuk keluar ruangan. Semua mata menuju padaku dan Papah. Ada murid yang melihatku dengan rasa iba, namun ada pula siswa yang melihatku kemudia membisikan apa yang ia pikirkan ke teman sebelahnya.
Sejak hari itu, Papah memutuskan untuk tidak menyekolahkanku lagi. Seminggu setelah kejadian itu, berita pembullyan ku menjadi topik utama dikoran dan televise lokal. Dalam 3 hari rumah kami menjadi rama dikunjungi para wartawan. Papah tidak hanya melindungiku di ruang kepala sekolah saja, tapi dimanapun aku berada.
Papah berhenti dari pekerjaannya dan menjadi guru privateku di rumah. Papah memutuskan untuk membangun usaha sendiri dari nol. Dia tak peduli lagi dengan besarnya gaji yang dimiliki. Papah bilang menjagaku jaauh lebih berharga daripada uang. Masa pubertasku mungkin akan segera habis, aku belum siap untuk menjadi wanita dewasa yang menjauh dari Papah. “Putri sayang sama Papah. Papah jangan nangis lagi ya, Putri kuat.”
Meskipun aku mengatakan begitu Papah terus menangis sambil memelukku. Melihat headline pagi ini dengan judul yang aku sendiri tak mampu membacanya