Posts

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 3

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 3

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 3

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 3

Ruang kepala sekolah menjadi sangat panas. Aku mandekap erat tangan Papah. Kepala sekolah sepertinya kebingungan harus meminta maaf seperti apa. Sedangkan mereka, memasang muka masam dan penuh kebencian.

“Kami paham betul bagaimana perasaan Bapak. Jadi mereka akan mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka.”

“Menurut Bapak sebagai kepala sekolah hukuman apa yang pantas untuk mereka?”

“Kami akan memberikan skorsing selama 3 minggu dan point 50 atas kenakalan mereka.”

“skorsing 3 minggu? Apa itu cukup pak dengan trauma yang dialami anak saya? Bapak tahu, tindakan yang dilakukan oleh mereka adalah Kriminal. Bapak yakin video yang rekaman anak saya sudah dihapus di ponsel mereka? Apa bapak tidak mencurigai jika mereka punya Salinan yang lain?”

“Mohon tenang sebentar pak, percakapan kita bisa mempengaruhi kondisi psikologis murid-murid?”

“Anak saya sudah mengalami trauma psikologis oleh murid bapak. Apa bapak sebelumnya mencari Informasi mengenai anak saya? Apa bapak sempat bertanya dengan teman sekelas anak saya?”

“Saya mengerti perasaan Bapak, tapi mohon tenang sebentar, masalah ini tidak akan selesai jika menanganinya dengan emosi.”

“Anak Bapak baik-baik saja, apa dia pernah mendapatkan tindakan bully dari teman-temannya?”

Aku semakin menggenggam erat tangan Papah. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Papah semarah ini. Aku takut… meskipun Papah tidak memarahiku. Papah menggenggam tanganku. Aku tahu semua yang dilakukannya adalah untuk melindungiku.

“Sejak umur 7 tahun, anak saya terdiagnosis komplikasi jantung. Dokter bilang jika usianya hanya sampai 20 tahun. Saya dan istri mati-matian untuk mematahkan diagnosis itu, saya ingin menciptakan kehidupan yang bahagia untuk putri saya. Kehidupan layaknya remaja normal lainnya, yang punya banyak teman yang sayang sama anak saya. Sampai tega hati saya menyekolahkan anak saya kemari padahal itu bukan keinginannya. Nak… anak saya memang tidak dibolehkan dokter untuk berolahraga fisik, karena kelelahan dapat membuat jantung bekerja lebih keras, obat yang kalian pikir itu mainan adalah obat yang harus dia minum.”

Aku memeluk Papah, dulu aku sangat marah jika Papah membahas ini di depan orang lain. Aku tidak mau terlihat lemah Pah. “Putri kuat Pah” ucapku sungguh pelan. Nafas Papah mulai berat, nadanya terdengar agak dalam.

“Putri selalu marah jika saya membahas ini. Saya berharap besar terhadap kebijakan Bapak. Saya minta hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Jika sampai video anak saya tersebar saya akan  menuntut pihak sekolah. Dulu sekolah ini menjadi kenangan indah bagi saya, tapi malah menjadi hal buruk untuk Putri.”

Papah mengajakku untuk keluar ruangan. Semua mata menuju padaku dan Papah. Ada murid yang melihatku dengan rasa iba, namun ada pula siswa yang melihatku kemudia membisikan apa yang ia pikirkan ke teman sebelahnya.

Sejak hari itu, Papah memutuskan untuk tidak menyekolahkanku lagi. Seminggu setelah kejadian itu, berita pembullyan ku menjadi topik utama dikoran dan televise lokal. Dalam 3 hari rumah kami menjadi rama dikunjungi para wartawan. Papah tidak hanya melindungiku di ruang kepala sekolah saja, tapi dimanapun aku berada.

Papah berhenti dari pekerjaannya dan menjadi guru privateku di rumah. Papah memutuskan untuk membangun usaha sendiri dari nol. Dia tak peduli lagi dengan besarnya gaji yang dimiliki. Papah bilang menjagaku jaauh lebih berharga daripada uang. Masa pubertasku mungkin akan segera habis, aku belum siap untuk menjadi wanita dewasa yang menjauh dari Papah. “Putri sayang sama Papah. Papah jangan nangis lagi ya, Putri kuat.”

Meskipun aku mengatakan begitu Papah terus menangis sambil memelukku. Melihat headline pagi ini dengan judul yang aku sendiri tak mampu membacanya

Video Anak SMP yang Ditelanjangi Teman Sekelasnya Tersebar Luas di Sosmed.

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 2

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 2

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 2

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 2

Aku berpamitan dengan Papah. Aku mulai memasuki ruang kelas, ini adalah ruang kelas yang lebih mewah dari sekolahku sebelumnya. Bu Guru memperkenalkanku, didepan seluruh murid kelas IX. Sebagai anak baru mungkin aku masih malu-malu, aku berharap mereka juga tidak merasa sungkan dengan kehadiranku.

Suasana istirahat, aku ingat Mamah menyiapkan bekal makanan. Meskipun Papah selalu memberikan uang sakunya, tapi ada beberapa makanan yang tak boleh aku konsumsi. Tidak hanya bekal aku juga dibawakan beberapa obat.

“WOII WONG ANYARANN!!!” bukan hanya membentak tapi gebrakan tangan mereka diatas mejaku dan membuatku sangat kaget.

Mereka merebut bekal makan siang buatan Mamah. Bukan hanya itu, tubuh mereka yang lebih besar dariku membuat mereka bisa melakukan intimidasi. Aku tak tahu apa yang mereka katakan. Jujur saja meskipun Ayah adalah orang Jogja asli, tapi semenjak aku kecil aku terbiasa tinggal berpindah dari Jakarta, Bandung, hingga Makasar. Aku sungguh tak mengerti ketika mereka berkata “ASU Koe!! Bongko wae!! Modar o Kono!!” aku sungguh tak mengerti. Tapi dari yang aku lihat mereka mengucapkan itu dengan nada yang sangat marah.

Kesan pertama yang sangat buruk. Obatku jadi berserakan di lantai, Doni sebelah bangkuku, dari tampilannya dia terlihat kutu buku. Aku mencoba menahan tangisanku, aku tak mau terlihat cengeng di depan teman-teman baruku. “Yang sabar ya! Mereka orang yang paling berkuasa di sekolah. Dari dulu setiap anak baru selalu mendapatkan perlakuan seperti ini. Dulu aku juga kayak kamu.”

Aku hanya diam, aku tak habis pikir. Apa benar ini adalah 10 sekolah terbaik di Jogja? Kenapa masih ada pembullyan seperti ini? Kenapa sekolah tidak bertindak?

“oh ya kenalin, aku Doni.”

“Putri.”

Aku ingin melaporkan tindakan mereka ke ruang BK. Tapi kata Doni lebih baik jangan. Mereka adalah anak kepala sekolah dan pemilik yayasan. Hampir semua murid yang ada di kelas, apalagi dari kalangan ekonomi menengah ke bawah selalu mendapatkan bullyan.

“lebih baik aku pindah sekolah Don, aku nggak bisa tinggal di sekolah kayak gini”

“Jangan, semester depan sudah persiapan UN. Gak semua sekolah akan menerima murid baru.”

Aku mempertimbangkan lagi apa yang dikatakan Doni. Bayanganku aku akan mendapatkan teman baru yang menyenangkan tapi nyatanya semua berbeda 180 derajat dari apa yang aku inginkan.

Jam olahraga, Papah sebenarnya berpesan padaku jika aku tak boleh mengikuti pelajaran ini. Apalagi jika membutuhkan kekuatan fisik yang besar. Semua temanku keluar dari kelas dan mengganti pakaian mereka. Aku masih menyimpan pakaian olahraga yang terlipan rapi di laci meja. “Put, kamu nggak pernah ikut olahraga kenapa?”

“Aku gak boleh Don…”

“Heh sopo ngangkon seng yang-yangan neng kene!!”

Lama kelamaan aku menjadi paham dengan Bahasa Jawa, berkat setiap kasar yang mereka lontarkan. Doni keluar dari kelas dan meninggalkanku. Aku tak menyalahkan dia karena ketakutan Doni terhadap tindakan mereka.

Mereka merebut tas ku, bukan hanya itu. Mereka juga mendorongku dari bangku. Aku tak tahu maksud mereka apa? Tapi ini sudah terlalu kasar buatku. Mereka mengeluarkan semua isi tasku, apa yang mereka cari? Salah satu diantara mereka mengambil baju olahragaku di dalam laci meja.

“Rak usah kemayu dadi wong wadon. Liyane podho melu penjaskes, koe ngopo neng kelas dewe?!!”

Mereka semakin mendekatiku. Bukan hanya itu mereka juga berani menyentuhku. Dua orang memegang tanganku, sedangkan dia sang ketua geng memaksa melepas satu demi satu kancing baju yang aku kenakan. Yang paling tak aku sangka adalah saat mereka merekam semua perilaku ini dengan ponselnya. JAHAT!!!

Aku berusaha berteriak, namun mulutku terus dibungkam. Aku menahan malu dan tangis. Tuhan bisakah Engkau membantuku sekarang? “Makane dadi wong wadon rak usah kemayu. Nek wayahe olahraga melu gabung karoan koncone! Titeni wadul karo Guru, Modar koe!!”

Bagaimana aku bisa bertahan dengan perilaku temanku yang seperti ini. Aku tak punya teman yang baik, Doni hanya sekedar lelaki pengecut yang memilih terhindar dari masalah daripada membela temannya. Guru hanya tunduk pada kekuasaan. Papah Putri mau pulang!! Putri gak mau sekolah!! Putri lebih baik di rumah!!

“Kak, masih marah sama papah?”

Papah masih bertahan di depan pintu kamarku. Sejak kemarin aku tak keluar kamar. Aku tidak marah dengan Papah, aku hanya marah dengan diriku yang tak berani menceritakan apapun. Pengalaman kemarin masih teringat jelas. Aku tak mampu merasakan lapar, haus, tidur dan hal-hal yang disukai orang normal lainnya. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, mataku sudah sangat sembab. Tiada henti aku menangis. Aku takut Papah akan memarahi mereka dan aku takut kalau mereka berbuat nekad terhadapku.

Aku masih berselimut, aku mendengar Papah mendobrak paksa pintu kamar. aku semakin mempererat selimutku. Aku tak ingin Papah tahu kondisiku sekarang. Aku takut Pah, sangat takut!

“Kakak kenapa?” belaian tangan Papah yang lembut semakin terasa. Aku tak tahan lagi. Aku dekap erat tubuhnya, dan air mata jatuh membasahi seluruh baju papah. Aku tahu papah sudah terlambat bekerja, tapi tolong Pah. Dengarkan aku kali ini, tolong turuti permintaanku kali ini. Aku gak mau sekolah!

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 1

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 1

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 1

Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 1

Hari ini, rumah yang terlihat sangat ramai dan penuh dengan perabotan kini menjadi kosong. Meskipun aku masih berusia 13 tahun namun aku sudah mengerti bagaimana kenyamanan itu terbangun. Padahal baru 3 bulan kemarin kami pindah dari sini, tapi hari ini aku dan keluargaku harus pergi lagi. Pekerjaan Ayah memang berpindah. Ini bukan pertama kalinya untukku, ini sudah ketiga kalinya. Semenjak berusia 7 tahun aku sudah terbiasa berpindah tempat dan berusaha beradaptasi di tempat yang baru. Selama berpindah aku selalu mendapatkan pengalaman baru. Beberapa pengalamanku sebelumnya aku selalu mendapatkan teman yang baik, terkadang moment kepergian seperti ini membuatku semakin sulit untuk meninggalkan rumah yang baru 3 bulan aku singgahi.

“Kak, maafin Papah ya. Mau bagaimana lagi kita sekeluarga harus pindah”

Ucapan yang selalu aku dengar dari Papah setiap kali kami pindah. Aku masih menatap dalam rumah yang bercat putih di depanku. Aku merasakan tangan Papah merangkul bahuku, tanda jika aku tak boleh berlama-lama melamun.

Selama diperjalanan menuju kota tujuan kami. Aku terus membuka buku kenang-kenangan kedua dari kedua sahabatku. Padahal baru 3 bulan tapi aku telah mendapatkan banyak sahabat. Lembar demi lembar aku membuka. Buku ini berisi foto-foto kami. Sebelum ini aku sudah berusaha meyakinkan Papah jika aku ingin tinggal. Tapi itu tak mungkin bisa diterima. Anak SMP kelas 2 yang berusaha hidup sendirian tanpa orang tua. Aku melihat pemandangan melalui jendela mobil. Papah sedang fokus menyetir. Sedangkan Mamah tertidur dibelakang sambil menyusui adikku yang masih berusia 16 bulan.

Sebagai anak tertua aku harus yang paling tegar, meskipun aku masih diusia pubertas. Aku harus berusaha memahami kondisi keluarga. “Selamat Datang di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Kota baru, rumah baru, lingkungan baru..

Berpindah dari kota Surabaya, Makasar, hingga Yogyakarta. Aku berharap Yogyakarta menjadi tempat terakhir aku bersinggah.

Rumah baru yang kami gunakan adalah rumah kakek dan nenek. Rumah ini sudah 2 bulan kosong, sebelum aku menempati ini. Rumah ini sempat dikontrakan beberapa kali. Namun mendengar jika Papah akan pindah ke Jogja. Bu Sum, penjaga sekaligus rewang di rumah kakek meminta untuk orang yang tinggal mengontrak untuk berpindah ke tempat yang lain.

“Monggo Pak, udah saya bersihin kemarin, dari halaman depan sampai kamar non Putri sudah saya bersihkan”

“Kakak bilang makasih sama Bu Sum, kamarnya udah dibersihkan”

“Iya Pah, Makasih ya Bu Sum”

Hari itu Papah memintaku untuk membantu membereskan rumah. Sebagai anak sulung aku harus berperilaku baik dan membantu Mamah untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Semenjak adikku lahir, Mamah selalu memperhatikan adik. Hampir setiap hari kesibukan Mamah adalah bermain dengannya. Aku ingin sekali protes, tapi Papah selalu bilang jika Mamah juga sama perhatiannya denganku.

“Kak, besok temenin Papah buat cari SMP yang cocok buat sekolah baru kakak”

“Kakak gak sekolah, Pah. Kakak mau Home Schooling aja”

“Kakak kenapa gak mau sekolah?”

“Kakak capek pah. Setiap pindah sekolah nanti kakak harus pamitan lagi, harus sedih ninggalin temen-temen lagi. Apa nggak boleh kakak Home schooling aja? Kalau Home schooling kakak gak perlu kenal teman baru lagi dan gak perlu pamitan lagi.”

“Kakak boleh home schooling. Tapi Papah lebih suka kalau kakak punya temen di sekolah. Kecerdasan itu bukan hanya soal kemampuan kakak pribadi tapi juga bagaimana kakak bersosialisasi dengan teman-teman kakak. Papah janji ini adalah pindahan kita yang terakhir.”

“Waktu di Makasar Papah juga bilang kalau itu yang terakhir.”

Obrolan kami berhenti. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar, aku tak peduli dengan Ayah. Aku tahu menjadi orangtua bukanlah hal yang mudah, namun menjadi anak yang baik untuk orangtua juga sama susahnya. Papah tak akan mengerti betapa beratnya aku melepas teman-temanku dulu, bujuk rayu Papah tak membantu apapun. Perasaanku masih tertinggal di Makasar.

Aku terpaksa mengikuti kemauan Papah, selama di mobil Papah selalu bertanya ingin makan apa? Mau jalan-jalan kemana? Atau hal lain yang biasanya aku lakukan bersama Papah. Aku tahu ini adalah bujuk rayu Papah agar akum au sekolah. Tanpa meminta izin dariku, papah memberhentikan mobilnya di sebuah halaman sekolah. Aku tak merespon apapun, dengan atau tanpa izinku Papah akan melakukan ini. Menyekolahkanku di tempat yang tak aku setujui.

“Ini adalah sekolah Papah dulu. Bukan cuma Papah Om Bayu sama Tante Tira juga disini. Semua keluarga kita selalu belomba-lomba untuk masuk sekolah ini. Waktu Papah  SMP, ini jadi sekolah terfavorite, dan sampai sekarang juga sama favoritenya. Kak…”

“Pah.. Boleh nggak kasih kakak waktu? Kakak baru kemarin nyampe Jogja, kakak masih capek hari ini kan harusnya kita jalan-jalan bukan pergi ke sekolahan”

Ayah menurut, akhirnya kami pergi dari sekolah. Semenjak keluar dari mobil aku tidak suka menjadi pusat perhatian orang-orang. Aku tak membayangkan bagaimana jika aku masuk ke lorong sekolah, pasti semua mata akan mengarah padaku.

Setelah kejadian di sekolah, 3 hari Papah membiarkanku tetap di rumah. Papah tak lagi memaksaku, di tambah akhir-akhir ini dia sedang sibuk bekerja. Di rumah aku juga tidak diam saja, aku mencoba mencari info mengenai home schooling terbaik di Jogja.

“Kakak, mau nyampe kapan didepan laptop terus?”

“Bentar lagi Mah.”

“Kakak beneran gak mau sekolah? Emang kakak gak bosen kalo di rumah terus?”

“Kakak gak tahu Mah, kemarin Papah ngajak Kakak ke SMPnya dulu. Tapi kakak belum siap buat sekolah. Kakak takut gak punya temen nanti Mah.”

“Tapi kalau di rumah teman kakak cuma Papah, Mamah, Adik, sama Bu Sum.”

Hari pertamaku masuk sekolah. Aku ingin hari ini tidak ada kesan buruk dari teman-teman baruku. Setelah berdiskusi dengan Mamah dan Papah aku putuskan untuk bersekolah. Setiap masuk ke Sekolah yang baru, Papah selalu menitipkan banyak pesan terhadap wali kelasku. Dia selalu mengatakan jika aku memiliki kebutuhan khusus dibandingkan murid yang lain. Aku tahu itu adalah salah satu cara Papah agar aku bisa nyaman bersekolah, tapi jujur aku malah malu dengan diriku.

“Putri mari masuk kelas”

Menulis Lagi | Part 3

Menulis Lagi | Part 3

Menulis Lagi | Part 3

“Apa harus kamu ambil buku itu sekarang” nadaku sudah mulai meninggi.

“Aku harus segera mengambilnya Dan. Itu penting buat aku! aku akan mengambilnya sendiri”

Menulis Lagi | Part 3

“Terserah”

“Padahal sebelum menikah kau berjanji untuk mengizinkanku untuk terus  menulis, dan aku harap kamu nggak akan lupa itu.”

Priska berlalu, malam pertama kami di Bali harus rumah karena pertengkaran. Aku membiarkannya pergi, saat ini aku ingin menenangkan diri… aku harap Priska mengerti maksud dari kemarahanku.

Tak terasa aku tertidur di atas ranjang. Aku mengecek jam di ponselku, tepat pukul 03.00 dini hari. Priska tidak ada di sampingku. Aku mulai menyelusuri kamar, area penginapan dan akhirnya aku keluar menuju resto tempat kami makan malam. Jujur aku mulai khawatir dengan Priska sekarang. Aku putuskan mulai berlari, Resto ini sudah tutup. Aku mencoba bertanya kepada salah satu pegawai yang membersihkan halaman resto. Dia bilang memang ada wanita yang mengambil buku, namun sudah dari jam 12 tadi.

Aku semakin khawatir, jujur jika Priska dalam kondisi bahaya akulah orang yang patut disalahkan. Aku terus berlari menyelusuri setiap jalan di Bali yang sepi. Hingga langkahku berhenti di pos polisi. Langkahku gontai, saat aku mendengar kabar dari polisi jika ada seorang wanita yang menjadi korban perampokan.

Tanpa pikir panjang aku langsung menuju rumah sakit yang disebutkan. Dalam hatiku, aku berharap itu bukan Priska. Tolong kabulkan, aku akan melakukan apa saja. Aku akan rajin beribadah, aku akan kembali mendekat padamu Tuhan! namun aku meminta pada-Mu, semoga wanita yang dimaksud bukan Priska.

Ketakutanku benar terjadi Priska terbaring koma dalam ruang ICU.  Kata dokter, bagian kepalanya mengalami benturan benda tumbul. Sehingga mengakibatkan penyumbatan darah pada otak. Jujur aku sangat takut mengabari keluarga yang ada di Jogja, namun sebagai suami aku harus bertanggung jawab. Aku bertanya pada dokter apakah bisa Priska dirujuk ke rumah sakit di Jogja? Dokter mengizinkannya setelah Priska sadar dan menjalani pemeriksaan. Jujur jika boleh bertukar posisi, aku rela berada di kondisi Priska saat ini.

7 hari kemudian, kemarin Priska sudah sadar dari komanya. Hari ini dengan di temani Bapak dan Ibu, Priska harus melakukan pemeriksaan. Diriku masih dipenuhi rasa bersalah, meskipun mata Priska telah terbuka. Namun tak ada kata yang ia ucapkan, pandangannya menjadi kosong. Aku semakin ketakutan dengan apa yang terjadi pada Priska.

“Akibat penyumbatan darah di kepala pasien, hal itu mengakibatkan rusaknya beberapa sistem saraf. Saya sarankan agar dia mengikuti terapi. Karena, kerusakan tersebut menyebabkan pasien kehilangan kemampuan dalam mengingat dan berpikir termasuk dalam membaca, menulis, dan berhitung. Karena luka yang dialami cukup besar, ditakutkan kemudian hari pasien akan mengalami komplikasi otak yang jauh lebih parah.”

Aku menangis, tak hentinya terus menangis. Begitu buruknya aku! suami yang tak bisa menjaga istrinya, suami yang menjadi penghalang mimpi istrinya. Aku terus menangis, bukan hanya aku tapi juga Bapak dan Ibu. Aku berulang kali meminta maaf pada mereka, aku adalah seorang yang tak amanah. Aku adalah orang yang menghancurkan putri mereka. Ibu terus mengelus kepalaku, begitupun Bapak memelukku begitu erat. “Aku memang sangat pantas kalian salahkan, maafkan aku. aku menghancurkan kepercayaan kalian.”

7 tahun pernikahan kami…

Seorang putri kecil duduk dipangkuanku. Setiap sore aku dan dia duduk di depan teras rumah, suasana Jogja memang sangat nyaman untuk dinikmati bersama orang yang dicinta. Bagiku sudah seperti kebiasaan membacakan buku cerita setiap sore dan sebelum tidur.

“Pa.. ada bukunya Mama?”

Aku selalu sedih setiap kali putri kecil ini menanyakan buku tentang ibunya. Sebenarnya itu bukan masalah, justru berita bagus jika dia memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap ibunya.

“Ada, bentar Papa ambilin.”

Dalam semua deretan buku yang tertata rapi di rak buku. Ku ambil satu buku yang teramat spesial. Bersama putri kecil itu, aku mendongengkannya. Cerita Indah tentang Ibunya.

“Buku Mama gak ada gambarnya ya Pa?”

“Gak ada gambar kayak di buku dongeng sayang. Tapi di belakang ada foto Mama.”

“Mama, cantik. Bukunya Mama Cuma 1 Pa?”

“Nggak, masih ada lagi… tapi kamu baca bukunya Mama kalau udah 17 tahun ya. Sementara kamu baca buku ini dulu.”

“Iya Pa, besok ziarah ke makam Mama ya Pa…”

Aku memeluk putri kecil itu, 3 tahun kepergian Priska. Sampai sekarang aku masih ingin menyalahkan diriku. Aku gagal menjaga Priska dua kali, dan aku membuat putri kecil ini tak pernah menemui ibunya sendiri.

– Kalimat Rinduku untuk Priska – Dia adalah penulis yang hebat bagiku, aku ingin cita-citanya untuk tetap menulis dapat menginspirasi banyak orang. Sejujurnya aku tak menyangka buku ini akan disukai oleh pembacanya. Buku yang sengaja aku tulis ini bukan hanya untuk mengenang Priska. Namun juga untuk mengenalkan Priska pada anaknya.

Menulis Lagi | Part 2

Menulis Lagi | Part 2

Menulis Lagi | Part 2

Terdengar lagu “can’t stop falling in love” aku yakin inilah saatnya. Semakin aku gugup aku akan semakin menunda! “Pris.. aku mau ngomong serius sama kamu.”

Menulis Lagi | Part 2

“Ngomong apa, jangan bikin aku deg-degan ya!”

“Aku nggak bisa bikin kata-kata puitis yang seperti kamu buat dalam buku atau majalah. Aku juga masih sangat kaku jika kadang berbicara dengan orangtua kamu. Tapi aku berharap ini bukan sebuah masalah besar untuk kita. Semenjak pertama kenal denganmu, semenjak nonton konser dan makan berdua denganmu. Aku semakin sadar… kita adalah dua orang yang tak bisa dipisahkan. Jadi.. maaf jika ini nggak romantis, tapi maukah kamu menikah denganku?”

“Iya!”

“Hah?”

“Iya Aku mau Dan!!”

Scmua pengunjung dan karyawan bertepuk tangan, aku memasangkan cincin ini ke jari manis Priska. Kali ini giliranku memeluknya. Aku tahu wajahnya jauh lebih bahagia sekarang. Aku harap selalu seperti ini…

Sesampainya di rumah Priska, suasana kompleks rumah sudah sangat sepi. Selama perjalanan pulang kami terus berpegangan tangan. Padahal tidak menyebrang jalan raya, tapi rasanya kami saling membutuhkan satu sama lain. “Minggu depan aku bakal minta Papah dan Mamah buat ke Jogja ngelamar kamu secara resmi, kira-kira sebelum kita menikah ada sesuatu yang kamu pengenin?”

“Umm apa ya?”

“Bilang aja nggakpapa… nanti nyesel loh.”

“Kalau semisal nanti kita menikah kamu tetep ngizinin aku buat nulis kan?”

Aku tersenyum tak ku sangka keinginan Priska begitu sederhana. Saat gadis lain meminta perhiasan dan hidup mewah setelah menikah, Priska justru meminta izin agar terus menulis… tentu aku akan mengizinkannya, aku tak ingin menjadi penghalang dari hal yang ia sukai.

“Dani kok diem? Gimana boleh?”

Aku menyentuh kepala Priska, dan mengelus pipinya yang chubby. Ku pandang kedua matanya begitu dalam. Aku mendekat padanya, Priska masih terus menatapku. Begitu pun aku yang tak bisa melarikan diri dari tatapannya, semakin ku dekatkan wajah kami. Kemudia ku kecup keningnya penuh perasaan.

Priska masih menatapku namun raut  wajahnya kali ini malu-malu. Aku tersenyum lagi padanya..

“Aku gak akan pernah melarangmu untuk menulis. Kamu boleh menulis kapan pun kamu mau.”

Satu bulan setelah aku melamar Priska. Hari ini adalah hari pernikahan kami, sesuai dengan kesepakatan bersama akhirnya resepsi pernikahan dilakukan dengan adat jawa. Hari ini sungguh membahagiakan, aku melihat Priska sangat cantik dengan pakaian adat jawanya. Padahal setiap hari dia memang selalu cantik di mataku.. kebahagian hari ini bukan hanya untuk kami berdua tapi semua yang ada disini. Aku dan Priska saling memandang lagi, aku heran kenapa kita tak pernah bosan untuk saling bertatapan?

“Yeay!!! Akhirnya ke Bali!!”

“Iya, kamu seneng?”

“Seneng banget Dan, eh Mas..”

“Kamu masih canggung manggil aku Mas?”

“Iya, tapi aku bakal mencobanya mm… Mas.”

“Kamu boleh panggil aku senyaman kamu. Kamu nggak papa kan selama 1 bulan ke depan tinggal di Bali dulu?”

“Aku justru malah seneng Mas! Aku yakin, kalau nanti aku bakal nemu ide baru buat buku selanjutnya. Karena di Bali aku pasti bakal dapet banyak inspirasi cerita!”

Aku senang setiap kali melihat Priska bahagia, seperti sekarang…

Suhu kota Denpasar memang berbeda jauh dengan Jogja. Siang ini, tepat pukul 13.00 WTA aku dan Priska telah sampai di Bali. Sesampainya di penginapan kami langsung membaringkan tubuh di kasur dan menyalakan AC kamar. wajah Priska berubah, padahal saat masih di Jogja ia terlihat begitu semangat. Tapi sekaang ia sungguh tampak lesu. Perubahan cuaca memang dapat merubah suasana hati.

Malam ini, karena rencana melihat sunset di pantai Kute batal. Akhinya kami putuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kompleks hotel. Padahal urusanku di Bali hanya semata pekerjaan. Namun karena aku baru menikahi Priska aku harap ini adalah moment bulan madu kami berdua.

“Kamu kenapa bawa buku tulis terus?”

“Karena ini di Bali aku nggak tahu kapan ide aku muncul Mas. Kadang ideku bisa muncul kapan saja, karena Bali tempat baru buat aku. Aku yakin akan banyak ide yang muncul saat jalan-jalan begini.”

“Oh… yaudah kita makan dulu yuk”

Kami berdua bersinggah di sebuah resto yang letaknya tak jauh dari penginapan. Namanya juga Bali, pasti banyak turis asing di sini. Tempat ini memang tak seromantis restoran waktu aku melamar Priska, namun duduk bersama dengannya. Lebih dari cukup bagiku.

Priska masih sibuk menulis semua idenya ke dalam buku, angin berhembus cukup kencang malam ini. Membuat rambut Priska sedikit berantakan. Aku mencoba merapikannya kembali, aku heran kenapa dengan tampilan yang berantakan Priska masih tetap cantik.

aku ingin memarahi angin malam ini, karenanya aku merasa jatuh cinta kembali pada Priska. Matanya masih tertuju pada buku. Tanganku masih memainkan rambutnya, Priska masih belum memalingkan matanya dari buku. Aku berusaha menarik perhatiannya lagi, ku elus lembut pipinya. Namun dia hanya memandangku sesaat dan memberikan senyumannya.

Mungkin sedikit sulit menikahi seorang penulis apalagi jika seambisius Priska. Aku masih menyentuh pipinya, aku semakin terbawa suasana. Ku dekatkan wajahku padanya, ia masih tidak memperhatikanku. Mungkin cara ini bisa… pelahan ku dekatkan wajahku, dan ku cium bibirnya. Aku harap Priska bisa mengerti jika aku tidak ingin diacuhkan.

“Dani!!” ucap Priska sambil melepaskan diri dariku. Wajahnya terlihat sangat kaget, aku meraih tangannya. Aku berusaha membujuk agar dia tak marah.

“Pris.. gakpapa ini di Bali bukan di Jogja. Semua orang disini akan menganggap kita pasangan biasa.”

Priska masih terdiam, sepertinya caraku salah. Aku harus minta maaf, meskipun di Bali Priska adalah gadis Jogja yang memegang tata karma. Tak mungkin semudah itu ia memahami budaya Bali.

“Maaf aku salah, harusnya aku minta izin dulu dari kamu. Aku hanya ingin kamu perhatikan, selama kita di Bali aku harap ini waktu kita buat bulan madu. Jadi boleh luangin waktu kamu buat aku?”

Priska mulai memandangku. Ia tersenyum lagi dan memelukku.

Seusai dari tempat makan kami segera kembali ke penginapan. Aku menggenggam erat tangan Priska, tangan yang kecil. Tapi, sulit ku lepaskan. Lagu Shella On 7 mengiringi kami selama berjalan menuju penginapan.

Lagu Shella tetap kami lantunkan dan menemani kami berdansa dalam kamar.Aku memandang wajah Priska lebih dalam, kini aku ingin benar-benar menciumnya. Wajah kami semakin dekat, bibir kamu mulai merasakan sentuhan masing-masing. Namun… “Dani!!”

Priska melepaskan pelukannya.

“Aku melupakan bukuku di resto”

Jujur kali ini aku sedikit jengkel. Harusnya moment  romantis ini bisa kita lakukan dengan penuh kebahagiaan. Namun kenapa buku lagi, buku lagi…

“Dan, aku harus ngambil bukuku!”

“Kenapa kamu lebih mementingkan buku itu ketimbang aku?”

“Dani, maksud kamu apa aku nggak paham?”

“Pris, aku memaklumi kamu marah tadi saat aku menciummu di resto. Tapi, ini adalah waktu kita berdus kenapa kamu masih saja memikirkan hal yang gak penting?”

“Dani, buku itu penting buat aku. Itu bukan hanya buku, tapi juga seluruh mimpi aku, aku gak akan bisa nulis tanpa itu.”

“Apa aku nggak jauh lebih penting dari tulisan kamu?”

“Apa? Dan, baik kamu atau tulisan adalah hal yang gak bisa aku pilih. Kamu dan tulisanku sama pentingnya”

“Aku nggak percaya.”

“Aku harap kamu percaya Dan. Bukankah cinta dilandasi oleh kepercayaan?”

Aku hanya terdiam. Aku begitu kesal dengan Priska, terlihat dia bersiap pergi keluar untuk mengambil bukunya.

“Apa harus kamu ambil buku itu sekarang” nadaku sudah mulai meninggi.

“Aku harus segera mengambilnya Dan. Itu penting buat aku! aku akan mengambilnya sendiri”

Menulis Lagi | Part 1

Menulis Lagi | Part 1

Menulis Lagi | Part 1

Menulis Lagi | Part 1

Pagi ini, berencana mengajak orang yang paling special dalam hidupku. Hari ini adalah hari ulang tahun ke 3 pacaran kami. Aku mengendarai mobilku, menuju tempat yang bisa dibilang cukup jauh. 12 bulan menjalani masa LDR bukanlah hal yang mudah ternyata. Setelah ku putuskan untuk resign dari tempat kerja dan aku berpindah ke kota kekasihku, sepertinya itu hal yang tepat. Aku tahu banyak orang yang mungkin mengira aku ini gila, atau terlalu dibudakan oleh cinta. Namun selama 6 bulan lalu aku telah mempersiapkan semuanya, dan aku harap kedatanganku adalah kejutan bagi dia.

Tepat di rest area Kilometer 70, aku meneguk sebotol air mineral yang dingin. Aku merasa mulai lelah, tapi aku tak boleh berpasrah. Terdengar suara lagu “Kita – Sheilla On 7” menandakan panggilan masuk dari ponselku.

“Hallo.. selamat malam..”

“Malam… kamu lagi apa?”

“Aku? Lagi minum”

“Terus?”

“Terus… lagi kangen sama kamu.”

“Sama, aku juga kangen. Kamu hati-hati pulang kerjanya ya!”

“Iya.. Kamu kenapa kok tumben telpon?”

“Aku tadi nulis, terus gak dapet ide. Malah mikirin kamu terus, jadinya aku telpon kamu.”

“Kamu nulis buat blog kamu?”

“Aku dapet kabar kalau buku ke 4 ku bakal dicetak ulang lagi! Keren nggak?”

“Iya keren, hihihi…”

“Hih kok malah ngetawain?”

“I miss you so much beib. And Happy 2nd anniversary I hope we can meet soon! Aku harap besok kado special dari aku udah sampai ke rumah kamu!”

“Kamu ngirim apa emangnya?”

“Besok kamu juga akan tahu sendiri, aku tutup dulu ya telponnya. Kamu jangan nulis sampai pagi!”

Telpon dari kekasih memang selalu membuatku merasa bersemangat kembali. Dengan berbekal beberapa kalong kopi, roti, dan cemilan lainnya aku melanjutkan perjalananku. Dari Serang Banten Menuju Jogjakarta. Ku mainkan lagu Shella On 7 lagi di dalam mobil, sambil ku kenang masa indah kami saat pertama kalo menonton konser bersama yang diadakan di kampus. Shella adalah band favorit kami berdua, setiap lagu yang terdengar sederhana selalu menggambarkan bagaimana kisah cinta kami selama 3 tahun lamanya.

Pagi ini, adzan subuh sudah berkumandang. Aku berhenti di sebuah masjid yang cukup besar di daerah Magelang. Jarak Magelang hanya 1 sampai 1,5 jam saja. Aku berisirahat sebentar sambil menunaikan ibadah sholat subuh. Di dalam mobil aku mengecek ponselku lagi, aku bermaksud untuk membangunkan dia lagi, aku khawatir jika ia meninggalkan sholat subuh hari ini. Apalagi setelah chat terakhir darinya tepat pukul 02.15 pagi hari.

“Halo.. udah bangun?”

“Hmmm??”

“Baru tidur ya? Buruan bangun gih, sholat subuh.”

“Hmm.. masih ngantuk.”

“Nanti abis cuci muka jadi ilang ngantuknya, ”

“Iya Iya…”

“Telponnya aku tutup ya, abis itu sholat.”

Sudah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini untuk membangunkannya agar tidak ketinggalan sholat subuh. Ya sebagai calon imam yang baik aku harus mampu menuntunnya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Suasana kota Jogja memang suasana penuh cinta, semenjak mengenal kekasihku aku jadi mencintai kota ini. Aku masih ingat waktu jaman kuliah dulu, kami berdua selalu menghabiskan malam untuk makan nasi goreng di sekitar alun-alun kidul. Masa-masa indah memang tak semudah itu dilupakan, sambil bernostalgia aku tak menyangka jika aku telah sampai di depan rumahnya. Terlihat dari kaca mobil Ibu dan Bapak sedang mengobrol sambil menikmati secangkir minuman yang hangat. Aku tersenyum membayangkan jika kedua orangtua itu adalah cernimanku di masa depan dengan kekasihku.

Aku turun dari mobil dan ku sapa calon mertuaku, mereka masih saja hangat seperti satu tahun yang lalu. “Sebentar ya Dani, Ibu panggilkan Priska”. Tutur kata yang lembut dan menyejukkan, aku tak sabar melihat raut wajah Priska saat kekasihnya tiba-tiba datang ke rumah.

Bayangan Priska mulai terlihat, itu dia. Dengan muka bantal dan rambut masih acak-acakan. Dia berlari ke arahku. “Dani!!” tanpa meminta izin dia langsung mendekapku, aku tahu dia itu seperti anak kecil jika sudah denganku. “Aku tahu kamu pasti kangen banget” aku tertawa sedikit geli, dia memang anak kecil saat ini.

Malam ini, aku kembali ke rumah Priska. Aku meminta izin kepada Bapak Ibunya untuk membawa Priska jalan-jalan. Meskipun aku sudah kenal dekat dengan keluarganya, namun etitude seorang lelaki sejati adalah selalu meminta izin kedua orangtuanya ketika berniat mengajaknya pergi. Prinsip Papa yang selama ini aku pegang. “Boleh nak Dani, tapi tolong pulangnya jangan malam-malam ya.”

“Baik pak nanti saya aku pulang secepatnya.”

Selama di mobil kami menyanyikan lagu Shella On 7-kita bersama. “Kamu inget waktu kita nonton konser Shella On 7 pertama kali?”

“Iya ingat, kenapa?”

“Setiap dengerin lagu ini, aku selalu inget waktu konser kamu selalu jagain aku. Padahal kamu tahu aku orang yang bengekan kalo konser”

“Aku bakal ngelindungin kamu Pris, selalu…”

“Hih kamu malah jadi gombal, ini mau kemana?”

“Udah lihat aja. Kalau ngantuk kamu tidur dulu gak papa”

Abhayagiri Restaurant- dari review yang aku baca di internet ini adalah tempat yang cocok untuk melamar. 3 hari lalu aku telah memesan satu tempat khusus dengan menu makan malam yang special, sesampainya di parkiran akau meminta Priska untuk menutup matanya, aku tahu dia bingung. Semenjak kuliah aku memang tak pernah berperilaku romantis dan ini adalah yang pertama kalinya. Aku memapahnya pelahan menyelusuri lantai dan juga anak tangga. Selama berjala Priska selalu bertanya “Emang ada apa sih?” tapi aku selalu mengatakan sabar.

Sampai di meja yang aku pesan. Sesuai dengan permintaanku, 1 meja dengan 2 bangku. Tak lupa aku meminta agar suasananya meja kami sedikit sepi dan tidak diganggu oleh orang lain. “Dan… udah boleh dibuka belum matanya?”

“Udah!”

Priska membuka pelan dua matanya, jujur dia memiliki mata yang cantik. apalagi saat sedang merasa bahagia. Aku tahu dia sangat menyukai suasana tempat ini. wajahnya begitu bahagia, senyumnya begitu indah. “Aku baru pertama kali ke sini Dani! Ternyata wujud aslinya lebih bagus!”

Ia terus memuji tempat ini, bukan hanya nuansa atau pemandangannya saja tapi juga makanannya. “Kamu mau makan Salmon?”

“Mau!!”

Kami memakan bersama, jujur aku sangat deg-degan. Melihat Priska seperti ini aku sangat senang, tapi aku sedikit gugup saat makanannya mulai habis. Saat inilah aku harus melamarnya. Dari belakang pelayan sudah bersiap untuk memutar lagu romantis. “Dani kamu kenapa?”

“Enggak papa… kamu suka aku ajak ke sini?”

“Suka banget Dan!!”

Terdengar lagu “can’t stop falling in love” aku yakin inilah saatnya. Semakin aku gugup aku akan semakin menunda! “Pris.. aku mau ngomong serius sama kamu.”

Selamat Ulang Tahun Part 4

Selamat Ulang Tahun | Part 4

Selamat Ulang Tahun | Part 4

“Nina…” suara lirih yang aku dengar beberapa waktu lalu. Aku sungguh hafal karena nadanya yang begitu khas. Bapak. Ku balikan badanku, dan benar. Dengan masih berseragam dinas yang tertutupi sebuah jaket dan helm yang masih dikenakan. Aku tahu bapak jauh-jauh dari tempatnya bekerja ke sini. Bapak yang sudah tak muda lagi, yang selalu mengeluh sesak nafas karena asap rokok yang selalu dihisapnya.

Selamat Ulang Tahun Part 4

Bapak yang sudah hampir 40 tahun ini. Dengan mata berkaca-kaca, aku tahu dia sangat merindukanku begitupun aku. Aku ingin sekali memeluk tapi setiap langkah mendekatinya semakin membuatku terluka. Langkah yang ingin maju kembali mundur. Aku begitu malu dengan diriku, situasi dramatis ini dilihat oleh orang-orang di sekelilingku entah guru atau sesame temanku. Aku malu Pak, aku malu dengan kondisiku yang terlihat seperti anak durhaka! Aku malu dan aku belum siap untuk menerima kenyataannya!

Tanpa pikir panjang, aku berlari menjauh. Sekali lagi Nino mengejarku, jujur aku lelah terus menghidari Bapak. Tapi aku belum siap untuk tinggal bersamanya lagi! Nino terus mengejarku dan berhasil meraih tanganki, jujur aku tak ingin mendengarkan nasehat apapun dari orang lain termasuk Nino.

“Aku tahu, kamu repot saat aku menumpang di rumahmu. Tapi gak seharusnya kamu minta Bapak aku buat datang ke sini, dan jemput aku pulang ke rumah.”

“Nina dengerin aku. Bapak kamu ke sini karena kemauannya sendiri. Gak pernah sekalipun terbesik dalam hatiku kalo kerepotan sama kamu. Sudah aku bilangkan aku akan sabar nunggu sampai kamu baikan.”

“Kamu gak paham No, tolong” aku menjatuhkan diriku, dan kamu berhasil menjadi pusat perhatian orang lain. Nino memelukku, dia tak berkata apapun. Dia hanya menyediakan bahu dan tangannya yang terus mengeluh rambutku.

Kejadian tadi siang membuatku sangat lelah. Padahal masih jam 19.30 tapi aku sudah terlelap dalam mimpi. Malam ini, Nino memintaku untuk tidak ikut belajar. Bahkan aku membiarkannya makan malam sendirian di ruang makan. Aku terlelap, dalam mimpi yang panjang. Aku merindukan Ibu, andai ada kesempatan bagiku untuk menemui ibu.

“Selamat Ulang Tahun kita kan doakan.. selamat panjang umum sehat sentosa, selamat panjang umur dan bahagia.”

“Makasih Bapak makasih tante Gina.”

“Sama-sama sayang. Tante kasih kamu hadiah. Tada!! buku gambar sama pensil mewarnai, nanti kamu belajar gambar sama Bapak ya! Sini tante fotoin Nina sama Bapak.”

Tante Gina. Ulang tahunku ke 4 tahun, pertama kalinya dalam hidupku merasakan sosok Ibu. Pertama kalinya aku bisa merasakan memiliki orang tua yang lengkap. Wanita yang aku lihat di dapur adalah tante Gina. “Nina.. Nina.. Nina”

Aku terbangun dari tidurku, aku kira aku kembali ke masa kecil namun ternyata aku kembali pada kenyataan. Di depanku sudah ada Nino.

“Nina. Kamu ngigau lagi.. aku khawatir, kamu butuh minum?”

Aku mengangguk Nino mengambilkan air minum. Aku heran kenapa aku bermimpi seperti itu tadi. Apakah benar itu cerita masa kecilku, tapi bagaimana mungkin aku bisa lupa? Padahal aku selalu pandai dalam menghafal di kelas. Aku terus melamun dan bertanya-tanya.

“Surprise!! Happy Birthday to you… Happy birthday to you…”

Mungkin benar aku pelupa, bahkan malam ini aku tak ingat jika hari ulang tahunku. “Tiup lilinya Nin, tapi make a wish dulu!”

Aku memejamkan mataku, dan kemudian aku meniup lilinnya. Aku sungguh beruntung memiliki teman yang sangat empati denganku seperti Nino. “Nino, ulang tahun kita sama. Kenapa cuma aku yang make a wish?”

“Aku gak perlu make a wish Nin, aku cukup mengamini setiap permintaan kamu sama Tuhan, apapun itu.”

“No, makasih ya. Maaf aku selalu ngerepotin kamu. Kamu selalu baik sama aku…”

“Aku sayang sama kamu Nin. Aku mau jujur, tanpa sepengetahuan kamu aku pergi menemui Bapak kamu. Kondisi aku selalu berusaha buat ngabarin kondisi kamu setiap hari, dan sebenarnya aku juga ngabarin Bapak kamu saat kita mau pulang sekolah tadi siang. Tapi aku gak nyangka kalau ternyata Bapak kamu bakal datang.”

Aku menundukan kepala ku sambil ku dengarkan dalam-dalam setiap penjelasan Nino.

“Nin, Bapak kamu mulai sakit-sakitan semenjak kamu pergi dari rumah. Aku memang selamanya gak akan paham bagaimana perasaan kamu, jika aku gak mengalaminya sendiri. Tapi, aku juga gak mau kalau kamu harus kehilangan orang yang kamu cintai…” semakin lama air mataku mulai menetes.

“Mungkin berat bagi kamu buat sembuh dari rasa kecewa. Apalagi terluka dari orang yang kamu sayangi. Aku tahu kamu butuh waktu, tapi kamu juga harus memahami Bapak kamu melakukan itu. Karena menunggu sampai kamu siap untuk menerima ibu lagi. Bapak kamu tahu kok susahnya hidup tanpa figure ibu, maka dari itu dia berusaha untuk melengkapinya. Meskipun terdengar menyakitkan, Bapak kamu memilih wanita itu karena dia menyayangi kamu juga. Hal yang keliru adalah saat Bapak kamu menyembunyikan kebenarannya.”

Air mataku semakin runtuh, Nino meletakan kuenya. Lalu memelukku, bahunya seakan tersedia untukku selalu.

“Maaf ya No. Maaf…” aku tak tahu harus berkata apa selain kata maaf.

“Nin, jika Bapak kamu udah merusak setengah rasa cintamu. Maka biarkan aku yang akan memperbaikinya kembali, meskipun usia kita sama-sama 17 tahun. Tapi aku siap memberikan cintaku yang tulus padamu. Bisakah kamu menerima cintaku dan memaafkan Bapak kamu?”

Aku tak mampu berkata apapun, aku hanya sanggup mengangguk. Nino benar, dan aku yang salah. Aku harusnya lebih ikhlas, tak seharusnya aku bersikap seperti ini sama Bapak. Aku harus pulang besok!

Dengan berseragam sekolah, Nino mengantarkanku ke rumah. Suasana rumah sangat sepi, apa Bapak masih di sekolah? Aku putuskan untuk menunggu di depan rumah bersama Nino. Jantungku terus berdetak cepat menunggu kehadiran Bapak. Namun aku semakin goyah saat tetangga sebelah rumah berkata “Bapak masuk rumah sakit semalam Nin.”

Langkah semakin ku percepat, aku buru-buru menuju UGD. Terlihat tante Gina menunggu di luar. Dari kaca jendela terlihat dokter melakukan penanganan yang intensif ke Bapak. Tante Gina memelukku. Kali ini badanku begitu roboh, aku tak ingin kehilangan Bapak. Air mataku jatuh, badanku sangat lemas hingga sulit rasanya untuk berdiri. Nino menggenggam tanganku begitu erat, memberikan kekuatannya padaku.

“Nino semalam aku make a wish. Berharap rasa sakitku hilang dan aku bisa jauh dari Bapak, dan waktu pertama kali aku kabur dari rumah aku juga memohon pada Tuhan agar memilih siapa yang harus menghilang aku atau Bapak.”

Ucapku begitu pelan. Sambil ku tatap dalam wajah Nino.

“Nin, kamu harus percaya Tuhan gak akan mengambulkan permintaan Hamba-Nya yang tidak baik.”

“Tapi semalam adalah ulang tahunku dan kamu mengamini juga. Apa Tuhan bakal mengabulkannya?”

Nino tak mampu menjawab apapun. Tante Gina hanya mampu menangis, aku tak tahu dia mendengarkanku atau tidak. Rasanya hati dan tubuhku seakan mati. Aku tak bisa merasakan apapun bahkan yang aku lihat sekalipun terasa kosong.

Dokter keluar dari ruangan. Saking matinya tubuhku aku tak bisa mendengarkan jelas apa yang dikatakan dokter. Yang ku lihat dia hanya menggeleng, dengan raut muka yang sedih. Tante Gina semakin histeris, dan Nino mendekapku sangat erat. Lebih erat dari sebelumnya, aku melihat Bapak tak lagi berdaya. Itulah pertama kalinya di hidupku aku menyesal merayakan ulang tahun.

Selamat Ulang Tahun Part 3

Selamat Ulang Tahun | Part 3

Selamat Ulang Tahun | Part 3

Aku menyelusuri di kamarnya nanti tak ada jawaban. Lalu aku berpindah ke dapur, namun aku sangat terkejut. Mataku terus menatap sosok wanita dewasa yang belum pernah ku temui sebelumnya. Menggunakan daster bunga dan sepertinya masih berusia 30 tahun. “Tante siapa?”

Selamat Ulang Tahun Part 3

“Anu.. Nina, tante ini…”

“Sayang gimana? Udah mateng masakannya?” ucap bapak yang muncul dari kamar mandi dengan telanjang dada dan hanya mengguakan sarung.

“Mas Nina…”

Bapak melihatku masih terpaku memandang kondisi dapur saat ini. Bapak melihatku begitu terkejut, aku semakin tak percaya dengan apa yang aku lihat. Bapak yang aku kira sangat menyayangiku kini membagi cintanya dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku. Bapak yang aku kira rela menghabiskan sisa umurnya hanya untuk bersamaku, ternyata secara diam-diam dia bermain dengan wanita lain.

“Nina, dengerin Bapak dulu Nak. Bapak bakal jelasin semuanya.”

“Bapak jangan mendekat. Kalau Bapak maju selangkah saja, Nina bakal teriak biar semua tetangga ke sini.”

“Nina, Bapak mohon dengarkan Bapak” ucap Bapak dengan begitu lirih dan berusaha mendekatiku. Semakin Bapak mendekat hatiku semakin hancur, air mataku tak bisa terbendung lagi. Ku lihat wanita itu hanya bisa diam melihatku. Aku tahu sebenarnya ia sangat iba melihatku seperti ini. Tapi dia tetaplah jahat bagiku.

“NINA BILANG JANGAN MENDEKAT!!!!” pertama kalinya dalam hati. Aku berani membentak seseorang yang menjadi separuh dalam hidupku. Aku tahu ini salah, tapi aku tak punya cara lain untuk membuat Bapak berhenti melangkah.

“Nina kamu kenapa?”

Aku sangat malu dengan diriku apalagi ketika Nino melihat semua ini. Aku tahu dia sangat bingung, aku tak ingin terlihat semakin buruk di mata temanku sendiri. Tanpa pikir panjang aku langsung lari keluar dari rumah. Aku tak melihat ke belakang sama sekali, namun yang aku dengar hanya suara Nino yang terus memanggil dan mengejarku.

Jujur saat ini aku tak tahu kemana aku harus pergi. Aku hanya ingin menjauh dari rumah, aku hanya ingin menjauh dari Bapak dan wanita itu. Aku hanya ingin melarikan diri sejauh mungkin, meski ini sulit. Tapi aku mohon, biarkan Aku atau Bapak yang menghilang sekarang. Ini benar menyakitkan

“Nin, kamu nggakpapa?”

Nino berhasil mengejarku sampai ke halte bis, dan tak ku lihat bayangan bapak yang ikutserta. Seluruh badan ku masih sangat gemetar, rasanya lelah, takut dan kaget melebur menjadi satu. Aku mengambil bahu Nino. Ku lepaskan apapun yang ku rasakan sekarang. Bolehkah akau menghilang sekarang? Kenapa Bapak, orang yang selalu aku cintai menyakiti sedalam ini, dan kenapa harus sekarang? Kenapa harus sekarang saat ada Nino?

“Nin kamu mau pergi kemana? Bentar lagi larut malam.”

“Aku gak mau pulang No. aku gak mau ketemu Bapak sama perempuan tadi, jangan paksa aku buat pulang.”

“Aku ngerti Nin. Sebentar lagi supir aku jemput, nanti kamu ikut pulang ke rumah aku aja ya.”

Aku mengangguk, memang saat ini aku tak tahu harus kemana. Aku tidak bisa tidur di jalan apalagi harus kembali ke rumah. Nino, kali ini kamu benar menyelamatkanku. Walaupun sebenarnya aku benar malu di depanmu. Tapi Nino, bisakah aku pinjam bahumu lagi…

Perjalanan menuju rumah Nino cukup memakan waktu 45 menit. Menangis, selalu menghabiskan tenaga. Selama di perjalanan aku tertidur, mataku sudah semakin membengkak dan perih. Aku harus mengistirahatkannya.

“Bapak.. Bapak..” aku terus memanggilnya sambil meneteskan air mata. Aku merasa di alam mimpi bertemu bapak tapi sentuhannya di wajahku seakan nyata. Pelahan aku membuka mataku, pandanganku sedikit kabur. Di depanku duduk seorang lelaki, namun belum jelas sampai sekarang.

“Nina kamu udah baikan?”

Suara Nino. Jadi aku hanya memimpikan Bapak saja, aku tak sadar bagaimana aku bisa berpindah dari mobil ke sebuah kamar.

“Badan kamu panas, jadi aku kompres pakek air dingin. Kamu kayaknya deman. Dari tadi kamu juga mengigau. Karena khawatir jadi aku jagain kamu.”

Aku menghapus air mataku yang menetes, jujur hatiku masih terasa campur aduk. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar terluka.  “Maafin aku ya No, aku jadi ngerepotin kamu.”

“Udah gakpapa, lagi pula Mamah Papah aku lagi dinas ke luar kota. Tadi aku udah telpon, dan katanya kamu boleh tinggal sementara di sini sampai kamu baikan.”

“Tapi kamu nggak perlu serepot itu ini No. Aku memang gak tahu terima diri jadi orang.”

“Nin, semua orang yang berada di posisi kamu. Pasti akan melakukan hal yang sama. Lebih baik kamu tenangin diri kamu dulu.”

Nino, aku selalu senang bersamamu. Meski tak sekalipun ku ungkapkan itu, tapi aku selalu bahagia kamu adalah orang pertama yang selalu ada saat aku terluka. Andai Bapak tahu bagaimana betapa baiknya Nino padaku, mungkin bapak akan minder dengannya.

Sejak semalam, Nino terus menjagaku. Aku juga berpesan agar hal ini tidak ia ceritakan kepada teman-teman di sekolah, dan Nino mengiyakannya. Aku harap kamu bukan lelaki yang ingkar sama seperti Bapak No.

Sudah 4 hari ini aku tinggal di rumah Nino. Jujur aku malu jika harus dilihat anak-anak saat kami turun dari mobil yang sama atau saat berbocengan ketika berangkat ataupun pulang sekolah. Aku selalu menundukan kepalaku karena malu. Aku tahu siapapun yang mengenal kami pasti menggosipkan yang macam-macam.

“Nin kamu kenapa murung seharian?”

“Aku ngerepotin kamu terus ya No? Apalagi banyak orang yang gosipin kita.”

“Terus kamu mau gimana?”

“Aku gak tahu No, aku…”

“Nina…” suara lirih yang aku dengar beberapa waktu lalu. Aku sungguh hafal karena nadanya yang begitu khas. Bapak. Ku balikan badanku, dan benar. Dengan masih berseragam dinas yang tertutupi sebuah jaket dan helm yang masih dikenakan. Aku tahu bapak jauh-jauh dari tempatnya bekerja ke sini. Bapak yang sudah tak muda lagi, yang selalu mengeluh sesak nafas karena asap rokok yang selalu dihisapnya.

Selamat Ulang Tahun Part 2

Selamat Ulang Tahun | Part 2

Selamat Ulang Tahun | Part 2

Aku terkejut dengan tawaran Nino. Aku tak memiliki pengalaman apapun tentang mengajar, di rumah aku hanya mampu belajar. Aku ingin menolak namun aku selalu terbawa suasana.

“Iya aku mau”

Selamat Ulang Tahun Part 2

Nino tersenyum lebar kepadaku kemudian memelukku erat, namun seketika melepaskannya. Kamu membuat berisik perpusatakaan. Semua mata tertuju padaku dan Nino. Tapi aku tak peduli karena di mataku saat ini ada Nino yang tersenyum begitu lebar.

“Bapak, Nina boleh minta ajarin gimana caranya ngajar?”

“Tumben, emang ada apa Nak, cerita sama Bapak.”

Aku pun menceritakan semuanya tentang Nino, tentang hubunganku dan dia serta bagaimana tawaran Nino tadi siang. Bapak hanya menyetujui itu, dengan catatan itu tidak akan mempengaruhi nilai ujianku nanti. Bapak memang seorang yang terus aku andalkan. “Pak, Ibu dulu guru matematika ya?” ucapku disela Bapak menjelaskan caranya mengajar.

“Guru matematika dan guru yang dicintai muridnya.”

“Kalau besok Nina mulai ngajar, berarti Nina udah kayak Ibu dong Pak.”

Bapak tak berkata apapun, dia langsung memelukku. Mungkin ini salahku selalu bertanya tentang Ibu, sehingga membuat bapak teringat padanya lagi. Tapi jujur aku ingin menjadi Ibu. Yang bisa aku pelajari hanya foto ibu dan buku catatan harian saat masih mengandungku. Aku ingin lebih mengenal Ibu, meskipun harus membuka luka Bapak. Maaf pak, bukan cuma Bapak saja yang rindu tapi aku juga begitu!

Setelah pulang sekolah, aku dan Nino sepakat untuk pergi keperpustakaan daerah. Di sana banyak sekali buku pelajaran. Kata Bapak kalau mau mengajari dengan baik hal yang harus dilakukan adalah cari minatnya dalam membaca. Meskipun aku tahu kesukaannya adalah komik tapi aku yakin masih ada hal yang ia sukai dan berkaitan dengan pelajaran tentunya.

“Kamu ngambil buku apa?”

“Aku ngambil, ini! Buku Oseanografi, dari dulu aku senang banget kalo diajak papahku ke laut. Apalagi ke kampong halaman papah Banda Neira. Aku kalau di sana banget renang, menyelam, sama mancing ikan. Karena itu kalau semisal udah lulus SMA nanti aku mau kuliah di kelautan biar bisa menjaga laut dan Banda Neira dari pencemaran lingkungan!”

“Wahh keren juga mimpi kamu!”

“Sorry aku malah jadi cerita gak belajar, Ayo Nin kita belajar! Eh maksudnya ajarin aku belajar”

Tips Bapak memang tepat, Nino jadi nyaman dalam belajar meski sebagian waktu kami habiskan untuk saling bercerita. Namun menurutku tak apa, karena Bapak bilang biarkan pertemuan awal sebagai waktu untuk lebih mengenal.

Sesuai kesepakatan aku dan Nino akan belajar kelompok 4 kali seminggu sepulang sekolah. Setelah kemarin aku mengajaknya ke perpustakaan. Hari ini aku meminta Nino untuk mengerjakan PR, dan akan ku cocokan besok pagi. Karena tidak ada ekstra atau pelajaran tambahan, aku bergegas untuk pulang. Bagaimana pun aku harus segera sampai rumah sebelum Bapak pulang.

“Nin, aku ikut ke rumah kamu ya?”

“Ngapain No, lagian kamu harus ngerjain PR dari aku kan? Kamu  pulang ke rumah kamu sendiri aja.”

“Iya PR-nya bakal aku kerjain tapi aku ikut ke rumah kamu ya. Kita udah satu tahun temenan tapi nyampe sekarang aku belum tahu rumah kamu.”

“Tapi rumah aku jauh dari sekolah No, harus naik bis dan transit 4 kali. Belum lagi jalan dari halte ke rumah.”

“Jauh dekat gak masalah Nin. Aku janji habis tahu rumah kamu aku langung pulang dan ngerjain PR di rumah.”

Jika Nino sudah bersikap memaksaku, mau bagaimana lagi. Aku sulit untuk menolaknya, aku mengizinkan Nino ikut pulang denganku. Namun dia harus menepati janjinya setelah ia tahu, harus segera pulang dan ngerjain PR.

Kondisi bis di sepulang sekolah memang ramai dan sesak. Meskipun begitu petugas bis tetap menerapkan peraturannya memisah bagian laki-laki dan perempuan. Aku dan Nino saling menatap, terlihat dia tidak nyaman dengan kondisi bis sekarang. Ya mau bagaimana lagi setiap hari aku seperti ini, sedangkan Nino selalu dijemput oleh supirnya atau terkadang dia membawa motor. Aku hanya tertawa melihat Nino. Selama perjalanan kamu hanya saling menatap entah ramai, sepi, duduk ataupun berdiri.

Hingga tak terasa 30 menit berlalu aku dan Nino berhasil sampai di halte terakhir. Nino terlihat sangat lelah, ya karena sedari tadi dia terus berdiri. Ada saja orang tua dan anak kecil yang meminta tempat duduknya.

“Nin, rumah kamu berapa jauh dari halte?”

“Nggak jauh. cuma jalan  10 menit aja. Kamu masih kuat?”

“Kuatlah Nin. Tapi kita mampir beli minum dulu ya.”

“Iya, ayo!”

Aku menggandeng tangan Nino sebenarnya spontan saja ku lakukan ini. Jujur aku tak ingin Nino pingsan dan merepotkanku. Untung saja jalan menuju rumahku tidak menanjak, hanya harus melewati beberapa gang kecil di sini. “Daerah rumah kamu banyak anak-anak kecilnya ya. Kamu pasti sering main sama mereka.”

“Siapa bilang? Mereka sering aku marahi, salah siapa gangguin aku kalo nyapu atau lagi belajar.”

“Haduh kecil-kecil galak, mana rumah kamu?”

“Tuh depan.”

Rumah dengan halaman yang tak luas ini yang telah aku huni sedari bayi hingga sekarang bersama Bapak. Tak begitu luas dibandingkan rumah Nino, namun sangat cukup bagiku dan Bapak. Aku mencoba mencari kunci rumah yang tersembunyi di bawah jendela kaca. Tapi kenapa kuncinya tidak ada? Apa bapak sudah pulang lebih dulu? Aku mencoba membuka pintu, dan benar pintu rumah tak terkunci.

Aku meminta Nino duduk sebentar sambil ku panggil Bapak. Bagaimanapun Nino adalah tamu, dan juga temanku. Bapak harus mengenalnya.

“Bapak!! Pak… Bapak..”

Aku menyelusuri di kamarnya nanti tak ada jawaban. Lalu aku berpindah ke dapur, namun aku sangat terkejut. Mataku terus menatap sosok wanita dewasa yang belum pernah ku temui sebelumnya. Menggunakan daster bunga dan sepertinya masih berusia 30 tahun. “Tante siapa?”

Selamat Ulang Tahun Part 1

Selamat Ulang Tahun | Part 1

Selamat Ulang Tahun | Part 1

Bagi sebagian orang masuk dalam sekolah terfavorite adalah sebuah mimpi besar. Sekolah yang berstandar internasional, dengan kasta sosial yang tinggi. Namun berbeda denganku, jujur dibalik prestasinya yang tinggi sekolahku ini. Ternyata banyak hal yang mungkin tak ada seorang pun yang menyangka, pertemanan disini hanya berdasarkan kemampuan ekonomi dan status sosial siswanya. Ada beberapa anak politikus yang bersekolah disini, bahkan anak artis papan atas juga demikian.

Selamat Ulang Tahun Part 1

Sedangkan aku, hanyalah anak kepala sekolah di Sekolah Dasar yang letaknya jauh dari pusat kota. Di sekolah ini aku berhasil mendapatkan bea siswa karena nilai tes ku masuk ke 3 besar. Selama satu tahun bersekolah di sini aku belum menemukan teman sejati kecuali Nino. Dia sama kutu bukunya denganku, namun yang membedakan dia peringkat 3 dari bawah.

 

Aku sering memarahi Nino karena memilih membaca komik dibandingkan buku pelajaran. Sejak MOS kami memang saling mengenal karena aku dan dia adalah siswa yang paling sering dibully oleh kakak senior.

“Nino bentar lagi ujian, kamu gak belajar?”

“Aku belajar kok tenang aja. Papah aku udah nyiapin guru private buat aku.”

“Justru karena papah kamu nyewa guru private hanyanya kamu lebih giat belajar sekarang, bukannya baca komik atau main game.”

“Iya bentar 1 game lagi Nin.”

“Kamu gak capek jadi capek jadi peringkat ke 147 di sekolah.”

“Nin, jangan mentang-mentang kamu pinter di kelas jadi ngeledek aku seenaknya dong.”

“Tahu ah cape aku sama kamu. Aku mau pulang terserah kamu mau ngapain.”

“Nin, tungguin kamu jangan ngambek gitu.”

Aku tak peduli Nino mengejarku dari belakang karena saat ini yang aku butuhkan adalah ketenangan. Waktuku sudah habis hanya untuk menceramahi Nino, setiap kali aku membahas peringkatnya di sekolah. Dia selalu memarahi ku, aku tahu dia pasti nggak suka. Tapi jika tidak begitu dia tidak akan mau belajar.

Aku menunggu bis di halte dekat sekolah, suasana halte memang sepi. Ya mau bagaimana lagi rata-rata di sekolahku siswa-siswinya memakai kendaraan pribadi mulai dari motor matic hingga mobil sport. Aku heran padahal pemerintah sudah memberikan pelayanan yang baik di kendaraan umum, tapi masih saja banyak orang yang memilih naik kendaraan pribadi padahal mungkin kebanyakan mereka tidak memiliki SIM. “menambah polusi saja..” ucapku pelan.

“Nina!! Kamu kenapa sih ngambek terus?”

Nino lagi, ya setiap kali aku meninggalkannya begitu saja di selalu berlari menyusulku. Lucunya dia selalu terengah-engah padahal aku hanya berjalan pelan. Suruh siapa lama sekali mengejar.

“Kamu marah sama aku Nin? Maaf ya Nin, jangan marah lagi dong”

Aku memalingkan wajahku darinya. Saat seperti ini aku selalu tak bisa menahan tawa setiap melihat dia mulai merayuku agar tidak marah. Ya meskipun tingkah lakunya seperti anak laki-laki lainnya. Tapi entah kenapa setiap kata maaf dari Nino sering membuatku luluh. Bukan cuma saat ini saja tapi kemarin dan seterusnya.

“Nak, gimana tadi sekolahnya?”

“Alhamdulillaih baik kok Pak. Bapak gimana tadi ngajarnya di sekolah?”

“Alhamdulillah baik Nak. Kamu udah istirahat Nak? Gak capek pulang sekolah terus masak buat bapak?”

Sudah menjadi kebiasaanku, sehabis pulang sekolah aku harus memasak untuk Bapak. Bagiku tak masalah, karena semenjak aku puber. Aku harus mampu mengurus pekerjaan rumah dan Bapak. Ibu ku meninggal tepat satu jam setelah melahirkanku, dan sampai sekarang Bapak belum menemukan wanita pengganti Ibu.

Itu bukan karena Bapak masih mencintai Ibu, tapi karena Bapak sangat mencintai aku. Aku lah yang belum siap menerima Ibu tiri bahkan saat ini. Semenjak SMP aku telah berlatih memasak. Mengepel, menyuci dan pekerjaan rumah lainnya. Itu semua ku lakukan agar Bapak tak mencari Ibu tiri untukku lagi. “Nina gak akan cape Pak, Nina akan lakuin apapun seperti yang Ibu lakukan dulu.”

Aku tahu pertanyaan Bapak menyimpan banyak maksud. Salah satunya adalah ingin mencari ibu tiri untukku. Dalam hatiku mungkin aku begitu lelah karena harus bersekolah dan mengurus rumah. Tapi aku ikhlas, asal Bapak menunggu aku siap menerima ibu baru. Entah kapan itu?

“Nin, semalem aku belajar ngerjain  soal matematika. Coba kamu cek jawabanku deh.”

“Tumben kamu belajar, coba aku lihat.”

Aku mengamati setiap coretan pulpen di bukunya. Sebelumnya Nino tak pernah bersikap seperti ini, aku curiga dia akan meminta contekan untuk ujian besok. Ku amati dalam beberapa menit setiap cara dan jawabannya namun…

“Nino ini kamu kerjain sendiri?

“Iya, kaget kan! Bener semua ya kan?”

“Salah semua Nino, katanya kamu mulai les private? Kok masih salah.”

“Hehe.. jadi papahku udah nyerah nyewa guru les private, jadi aku suruh nyari sendiri tapi gak ketemu.”

“Kenapa gak ikut bimbel aja?”

“Udah pernah tapi hasilnya sama aja. Eh, kamu mau nggak jadi guru private aku?”

Aku terkejut dengan tawaran Nino. Aku tak memiliki pengalaman apapun tentang mengajar, di rumah aku hanya mampu belajar. Aku ingin menolak namun aku selalu terbawa suasana.

“Iya aku mau”