Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 2
Papah, Mereka Terus Membullyku | Part 2
Aku berpamitan dengan Papah. Aku mulai memasuki ruang kelas, ini adalah ruang kelas yang lebih mewah dari sekolahku sebelumnya. Bu Guru memperkenalkanku, didepan seluruh murid kelas IX. Sebagai anak baru mungkin aku masih malu-malu, aku berharap mereka juga tidak merasa sungkan dengan kehadiranku.
Suasana istirahat, aku ingat Mamah menyiapkan bekal makanan. Meskipun Papah selalu memberikan uang sakunya, tapi ada beberapa makanan yang tak boleh aku konsumsi. Tidak hanya bekal aku juga dibawakan beberapa obat.
“WOII WONG ANYARANN!!!” bukan hanya membentak tapi gebrakan tangan mereka diatas mejaku dan membuatku sangat kaget.
Mereka merebut bekal makan siang buatan Mamah. Bukan hanya itu, tubuh mereka yang lebih besar dariku membuat mereka bisa melakukan intimidasi. Aku tak tahu apa yang mereka katakan. Jujur saja meskipun Ayah adalah orang Jogja asli, tapi semenjak aku kecil aku terbiasa tinggal berpindah dari Jakarta, Bandung, hingga Makasar. Aku sungguh tak mengerti ketika mereka berkata “ASU Koe!! Bongko wae!! Modar o Kono!!” aku sungguh tak mengerti. Tapi dari yang aku lihat mereka mengucapkan itu dengan nada yang sangat marah.
Kesan pertama yang sangat buruk. Obatku jadi berserakan di lantai, Doni sebelah bangkuku, dari tampilannya dia terlihat kutu buku. Aku mencoba menahan tangisanku, aku tak mau terlihat cengeng di depan teman-teman baruku. “Yang sabar ya! Mereka orang yang paling berkuasa di sekolah. Dari dulu setiap anak baru selalu mendapatkan perlakuan seperti ini. Dulu aku juga kayak kamu.”
Aku hanya diam, aku tak habis pikir. Apa benar ini adalah 10 sekolah terbaik di Jogja? Kenapa masih ada pembullyan seperti ini? Kenapa sekolah tidak bertindak?
“oh ya kenalin, aku Doni.”
“Putri.”
Aku ingin melaporkan tindakan mereka ke ruang BK. Tapi kata Doni lebih baik jangan. Mereka adalah anak kepala sekolah dan pemilik yayasan. Hampir semua murid yang ada di kelas, apalagi dari kalangan ekonomi menengah ke bawah selalu mendapatkan bullyan.
“lebih baik aku pindah sekolah Don, aku nggak bisa tinggal di sekolah kayak gini”
“Jangan, semester depan sudah persiapan UN. Gak semua sekolah akan menerima murid baru.”
Aku mempertimbangkan lagi apa yang dikatakan Doni. Bayanganku aku akan mendapatkan teman baru yang menyenangkan tapi nyatanya semua berbeda 180 derajat dari apa yang aku inginkan.
Jam olahraga, Papah sebenarnya berpesan padaku jika aku tak boleh mengikuti pelajaran ini. Apalagi jika membutuhkan kekuatan fisik yang besar. Semua temanku keluar dari kelas dan mengganti pakaian mereka. Aku masih menyimpan pakaian olahraga yang terlipan rapi di laci meja. “Put, kamu nggak pernah ikut olahraga kenapa?”
“Aku gak boleh Don…”
“Heh sopo ngangkon seng yang-yangan neng kene!!”
Lama kelamaan aku menjadi paham dengan Bahasa Jawa, berkat setiap kasar yang mereka lontarkan. Doni keluar dari kelas dan meninggalkanku. Aku tak menyalahkan dia karena ketakutan Doni terhadap tindakan mereka.
Mereka merebut tas ku, bukan hanya itu. Mereka juga mendorongku dari bangku. Aku tak tahu maksud mereka apa? Tapi ini sudah terlalu kasar buatku. Mereka mengeluarkan semua isi tasku, apa yang mereka cari? Salah satu diantara mereka mengambil baju olahragaku di dalam laci meja.
“Rak usah kemayu dadi wong wadon. Liyane podho melu penjaskes, koe ngopo neng kelas dewe?!!”
Mereka semakin mendekatiku. Bukan hanya itu mereka juga berani menyentuhku. Dua orang memegang tanganku, sedangkan dia sang ketua geng memaksa melepas satu demi satu kancing baju yang aku kenakan. Yang paling tak aku sangka adalah saat mereka merekam semua perilaku ini dengan ponselnya. JAHAT!!!
Aku berusaha berteriak, namun mulutku terus dibungkam. Aku menahan malu dan tangis. Tuhan bisakah Engkau membantuku sekarang? “Makane dadi wong wadon rak usah kemayu. Nek wayahe olahraga melu gabung karoan koncone! Titeni wadul karo Guru, Modar koe!!”
Bagaimana aku bisa bertahan dengan perilaku temanku yang seperti ini. Aku tak punya teman yang baik, Doni hanya sekedar lelaki pengecut yang memilih terhindar dari masalah daripada membela temannya. Guru hanya tunduk pada kekuasaan. Papah Putri mau pulang!! Putri gak mau sekolah!! Putri lebih baik di rumah!!
“Kak, masih marah sama papah?”
Papah masih bertahan di depan pintu kamarku. Sejak kemarin aku tak keluar kamar. Aku tidak marah dengan Papah, aku hanya marah dengan diriku yang tak berani menceritakan apapun. Pengalaman kemarin masih teringat jelas. Aku tak mampu merasakan lapar, haus, tidur dan hal-hal yang disukai orang normal lainnya. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, mataku sudah sangat sembab. Tiada henti aku menangis. Aku takut Papah akan memarahi mereka dan aku takut kalau mereka berbuat nekad terhadapku.
Aku masih berselimut, aku mendengar Papah mendobrak paksa pintu kamar. aku semakin mempererat selimutku. Aku tak ingin Papah tahu kondisiku sekarang. Aku takut Pah, sangat takut!
“Kakak kenapa?” belaian tangan Papah yang lembut semakin terasa. Aku tak tahan lagi. Aku dekap erat tubuhnya, dan air mata jatuh membasahi seluruh baju papah. Aku tahu papah sudah terlambat bekerja, tapi tolong Pah. Dengarkan aku kali ini, tolong turuti permintaanku kali ini. Aku gak mau sekolah!