Sajak Lara : Memeluk Kesepian #2
Sajak Lara : Memeluk Kesepian #2
Siang yang terik. Sangat cerah, banyak orang beraktivitas di luar. Sedangkan Aku masih menatap jendela kamar. Persediaan makanku sudah habis, saatnya pergi berbelanja. HP-ku bergetar, itu tante Vanya lagi, kenapa belum cukup bertemu kemarin sampai akhirnya menelpon seperti ini?
“Yura, Tante telah mengirim uang bulanan ke rekening kamu. Simpan uang tabungan dari asuransi Ayah dan Ibu. Mulai sekarang biar tante yang mencukupi kebutuhan hidupmu.”
Aku hanya diam. Aku tak merasa senang, atau terhina. Aku hanya merasa hampa.
“Yura. Sampai kapan kamu berdiam diri seperti ini? Sudah 2 tahun, kamu tidak berbicara denganku. Tolonglah, tolong sekali, satu kata saja. Katakan sesuatu, jangan sampai tante lupa bagaimana suara kamu.”
Aku mematikan telponnya. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali berbicara dengan tante Vanya. Aku hanya berteriak saat sesi konseling, dan kalimatnya pun sama. Jika bukan karena teriakan itu mungkin Aku sudah lupa bagaimana suaraku, atau lupa bagaimana caranya berbicara.
Mi instant, makanan kaleng, snack, minuman botol, dan soda. Hanya itu kebutuhan dapurku. Aku tak pernah menyetok sayuran, buah, nasi, atau bahan makanan yang sehat lainnya. Selepas belanja, Aku selalu langsung pulang ke rumah.
Seseorang yang berkostum hewan anjing memberikannya padaku. Aku menerima brosur itu, hanya sekadar iseng saja. “KOMUNITAS TEMAN DENGAR” Ku simpan kertas itu dalam tas belanja.
Hari demi hari Aku lalui dengan sama. Tidur di sore hari, terjaga di malam hari, makan, dan melamun. Aku tak pernah keluar dari rumah. Jika keluar pun itu untuk kebutuhan hidup dan berobat.
“Yura. Sudah 2 tahun proses konseling kita. Perubahan kamu belum signfikan, bagaimana jika kita ubah metodenya.”
Aku diam, tak merespon apapun. Aku tentu akan mengikuti seluruh arahan psikiater, karena Aku juga ingin sembuh dari luka batin ini.
“Aku berikan buku. Mulai sekarang cobalah tulis hal-hal sederhana yang kamu sukai setiap hari. Lalu, kamu juga perlu menceritakan apa yang terjadi dalam satu minggu.” Aku menerima buku itu. Aku tak ada pilihan lain, selain mengikuti arahan psikiaterku.
Aku pulang dengan berjalan kaki. Hatiku, pikiranku, dan pandanganku kosong. Hampa sekali rasanya, Aku lupa bagaimana perasaan bahagia, bagaimana perasaan sedih, dan bagaimana perasaan marah. Hatiku sungguh mati rasa.
Aku terhenti, seseorang memegang tanganku. Aku terkejut dan sedikit takut. Aku menoleh berharap itu bukan orang jahat. Seseorang dengan kostum anjing yang sama. kami bertemu lagi, Aku jadi ingat brosur yang diberikan beberapa waktu lalu. Orang itu melakukan gerakan, mengisyaratkan ekspresi gembira. Dia juga menggerakkannya ke arah kiri. Memintaku untuk bergabung. Aku masih terdiam, kostum itu menggambarkan anjing yang ceria. Apalagi dengan gerakan yang menggemaskan, Aku tersenyum sedikit. Aku masih berdiri, orang itu masih menungguku. Ku putuskan untuk melangkah. Aku menuruti ajakannya.
Sebuah taman terbuka, di sana sudah disediakan kursi dan panggung. Aku duduk di bangku paling belakang. Suasana tidak terlalu ramai. Hanya ada 10 orang di bangku penonton. Iringan musik memeriahkan suasana. Aku menikmatinya, tak lama segerombolan anak-anak kecil datang. Mereka seperti anak-anak yang biasa menjual koran di jalan. Mereka tertawa, tampak menggemaskan. Beberapa panitia membagikan permen kepada kami. Terlihat anak-anak itu sangat senang saat mendapatkan permen lolipop yang berwarna-warni. Bahkan di antara mereka meminta 2 permen.
“Jangan cul, gigi kamu nanti tambah ompong.” Celetuk salah satu anak yang usianya tampak paling tua.
Anak itu malah merengek dan meminta 2 permen. Namun teman-temannya tak membolehkan. Aku tersenyum lagi. Aku melihat permenku, Aku tidak makan makanan manis. Ku berikan permen itu pada anak kecil yang merengek.
Anak itu tampak cerita dan berterima kasih kepadaku. Bahkan teman-temannya juga ikut berterima kasih. Aku membalas mereka dengan senyuman. Aneh dalam 1 hari, Aku sudah 3 kali tersenyum. Acara dimulai, sangat menyenangkan. Anak-anak juga tampak lebih ceria, mereka tampak bersemangat saat sesi game berlangsung. Bahkan mereka sangat antusias untuk bermain game dan memenangkan hadiahnya.
Aku tersenyum lagi, sangat indah. Tiba-tiba air mataku mengalir. Aku tak tahu perasaan apa ini, tangisan ini sangat jauh berbeda saat Aku melakukan sesi konseling. Tangisan ini membuat hatiku lega. Aku berusaha menahan air mata. Suasana sore ini sangat cerah, tak mungkin ku hancurkan dengan air mata. Aku terus mengusap air mataku, dan terus tersenyum. Perasaan apa ini? Apa semesta ingin menyampaikan sesuatu padaku?
“Ini Kak, permen.”
Aku mengangkat kepalaku. Anak kecil yang tadi ku beri permen, justru mengembalikan permennya padaku. “Jangan sedih. Aku kembalikan permen Kakak. Belom Aku gigit kok.”
“Terima kasih.” Tanpa sadar Aku mengucapkan kalimat itu.
Anak kecil itu, kembali bersama teman-temannya mereka bersiap untuk pergi. Sempat mereka melambaikan tangan padaku. Bahkan terdengar “Dada kakak cantik!”
Tepat pukul 1 pagi Aku masih terjaga. Aku merasa sedikit lega karena kejadian tadi sore. Buku yang diberikan dokter masih ku pegang. Aku ingin menulis sesuatu sekarang. Aku mungkin sudah lama tak berbicara, namun bukan berarti Aku lupa bagaimana cara menyusun kata.
Tanggal : 1 januari
Hal yang Aku syukuri hari ini:
- Bertemu badut anjing lucu
- Tersenyum lebih dari 3 kali sehari
- Dikasih permen sama anak kecil
- Dipanggil kakak cantik
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!