Saling Bertemu Dalam Ruang Bertamu
Hari ini, adalah hari pertama aku menggelar acara bedah buku. Momen yang telah ku tunggu setelah 1 tahun lamanya. Banyak jadwal yang terundur memang, karena kondisi yang tak memungkinkan. Aku cukup senang salah satu impianku terwujud satu demi satu, tapi Aku cukup terkejut jika kota pertama yang Aku kunjungi dalam acara bedah buku ini adalah Kota Semarang.
Kota besar namun tak metropolitan seperti Jakarta. Kota ini merupakan kota yang bersejarah bagiku secara pribadi. Aku pernah merasakan perantauan di sini. Tepat 3 tahun yang lalu, saat aku masih berstatus Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Masa kuliahku cukup berkesan, suka dan duka terurai dengan jelas dan membekas dalam.
Aku sudah sampai di salah satu Toko buku, Aku memasuki aula dan terlihat. Sudah banyak penggemar bukuku yang duduk rapi di sana. Semua bersorak, dan merasa bahagia saat duduk di atas sofa kecil.
Acara bedah buku pun dimulai, banyak interaksi yang terjalin antara Aku dan para pembaca. Sampai pada momen terakhir acara, dimana Aku bisa berintaksi dengan mereka satu persatu. Entah meminta tanda tangan atau foto bersama. Aku menyapa mereka dengan hangat maklum saja, berkat mereka tulisanku rasanya lebih bernyawa.
Aku menikmati masa ini, masa yang sangat Aku nanti-nanti. Perlahan para pembaca yang sudah mendapatkan tanda tangan dan foto bersama keluar ruangan. Hanya ada hitungan jari orang-orang yang masih di sini. Sampai pada keloter terakhir, Aku menerima sebuah buku dari tangan yang sangat ku kenali.
Tangan pria berkulit sawo matang yang memiliki tato mawar lengkap durinya di pergelangan tangan namun dekat dengan ibu jari. Aku mendongakkan kepala. Pria yang sama. Aku sungguh tak menduga dia datang ke sini. Padahal sudah lama sekali Aku tak bertukar kabar dengannya, bahkan aku kehilangan kontaknya.
“Hai.”
Dia pria yang 3 tahun lalu ku temui. 3 tahun lalu ku bersamai, 3 tahun lalu kami berpisah mengejar mimpi masing-masing.
Acara bedah buku telah selesai Aku meminta izin untuk makan siang di dekat hotel. Di depan pintu keluar Dia ternyata menungguku. Benar, dia bukan hanya sekadar pembaca bukuku seperti orang pada umumnya. Dia teman lamaku, teman yang sangat dekat, bahkan lebih dari teman dulunya.
Kini kami berdua duduk di meja yang sama. Dia menikmati kopi latte-nya sedangkan Aku menikmati secangkir coklat tiramisu yang hangat. Sudah 3 tahun lamanya, minuman yang kami pesan tetap sama. Bahkan cara duduk kami juga, kami selalu memilih meja dekat jendela kaca. Mengobrol dengan berhadapan. Semuanya sama, maklum saja ini sudah menjadi kebiasaan kami berdua. Yang berbeda hanyalah kondisi jika Aku dan dia tak bersama lagi.
“Bagaimana kabarmu?” Tanyaku sedikit basa-basi
“Baik, kamu?”
“Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik.”
“Aku senang mimpimu sebagai penulis terwujud dengan baik. Bahkan sampai bisa road-show bedah buku ke sini. Kamu sangat keren sekarang.”
“Terima kasih, ya Aku sendiri masih merasa kaget. Lalu apa yang kamu lakukan sekarang?”
“Ummmm… Aku meneruskan usaha keluarga. Mungkin bisa dibilang cukup sibuk, tapi tak lebih sibuk darimu.”
“Syukurlah. Senang bertemu denganmu..”
“La, kamu punya waktu bulan depan?”
Aku terkejut, dan detak jantung menjadi sedikit tidak karuan. Pertanyaan darinya membuatku membuka sedikit perasaan lama.
“Belum tahu.”
Dia menyodorkan secarik kertas yang dihias indah, kertas yang sama sekali tak ku sangka akan ku dapatkan secepat ini.
Kertas undangan pernikahan : Kania & Arsa
Aku tersenyum, turut bahagia. Namun ada sedikit nyerinya, kabar yang secepat ini. Aku sendiri tidak siap untuk ini, tapi mau bagaimana lagi? Semuanya telah terjadi.
“Kamu akan menikah? Selamat, Aku turut bahagia”
Aku berusaha tersenyum. Senyuman ini tak sepenuhnya tulus. Ada sedikit bohongnya, karena hatiku masih sedikit menyimpan rasa pada Arsa.
“Awalnya Aku nggak mau ngasih ini ke kamu. Aku sangat bingung, tapi Aku mengundang seluruh teman kita satu angkatan. Sangat tidak adil jika kamu terlewat. Ya, Aku tahu kamu sibuk sekarang, tapi setidaknya kamu harus tahu kabar pernikahanku. Jadi Aku sengaja datang ke acara bedah bukumu hari ini. Untuk bertemu denganmu.”
Aku tersenyum sambil mengangguk, kali ini aku tak berani menatap Arsa. Aku berusaha mengalihkan pandanganku ke jendela kaca. Pemandangan di luar sangat cerah, sungguh indah.
“Kamu nggak berubah La, sama sekali nggak berubah setelah 3 tahun lamanya.”
Aku memberanikan diri menatap pria di depanku ini. Wajahnya sama sayunya denganku sekarang.
“Aku masih ingat La. Saat pertama kali kita bertemu. Kamu ingatkan? Kita masuk di kelas yang sama, mata kuliah yang sama, bahkan baris meja yang sama. Kita tak saling kenal, kita hanya berbicara secukupnya saja. Sampai akhirnya kita jadi satu kelompok penelitian. Kita banyak berbincang hingga akhirnya Aku nyaman denganmu. Kamu juga begitu. Kita sama-sama nyaman dan saling suka, sampai Aku menembakmu. Tepat dihari ulangtahunku….”
Teater pikiranku berjalan mengenang setiap kejadian yang diceritakan Arsa. Rasanya seperti masih baru, meskipun itu sudah 3 tahun berlalu.
“….Kita saling menyayangi dan berjanji untuk bersama, selamanya. Tapi perlahan, kita malah sering bertengkar. Rasa romantisme kita kian memudar, ego kita berdua saling bertentangan. Malah Aku sendiri merasa menyesal telah menembakmu dulu. Dari hari ke hari kita terus bertengkar, Aku menganggapmu terlalu idealis, kamu juga mengatakan jika aku ini terlalu realistis. Karena sama-sama tak sepaham, akhirnya kita berpisah. Kamu lulus kuliah dan pulang ke rumah. Aku masih melanjutkan tugas akhirku dan berjuang untuk hidupku.”
“Pada akhirnya, kita sama-sama menjadi orang yang ambisius Sa. Gak ada yang mau ngalah…”
Aku tak ingin bersedih, tapi aku tak bisa berbohong. Rasanya tidak adil menangisi seseorang yang hendak menikah. Tapi bagaimana lagi, 3 tahun pergi darinya ternyata tak membuatku pulih. Bertemu dengannya justru membuatku mengingat kisah lama.
“Tapi Aku bahagia La, Aku sangat bahagia dengan hubungan kita. Meskipun itu nggak selamanya.”
Air mataku menetes satu. Buru-buru ku hapus, Aku tak ingin menggagalkan rencana bahagia milik Arsa. Ini sudah keputusan kita berdua.
“Aku kira.. Aku sudah sangat pulih tapi ternyata belum sepenuhnya.”
“Maaf La, hari ini Aku justru membuat luka baru lagi. Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya ingin bertemu.”
Aku tersenyum, rasanya sedikit sedih. Namun ada kelegaan di hati kecilku.
“Sa, kamu tahu kalau Aku suka bermain ‘seandainya’. Kamu mau nggak main itu lagi untuk terakhir kalinya.”
Arsa menganggup. Aku mengumpulkan suaraku, rasa ingin menangis membuat suarakan seakan habis. Aku menarik napas sebentar.
“Sa, seandainya saja 3 tahun lalu kita nggak berpisah. Seandainya saja hubungan kita langgeng-langgeng aja. Apakah mungkin sekarang ini kita akan menikah? Apakah mungkin kita akan bersama dan bahagia?”
Arsa, terdiam. Ini memang pertanyaan yang bodoh. Sebaiknya tak ku tanyakan, meskipun hatiku sangat ingin tahu jawaban Arsa.
“…Lupain aja Sa, itu cuma pertanyaan konyol.” Sambungku.
“Kita akan tetap bertengkar.” Jawab Arsa cepat.
“Kita akan sulit untuk saling belajar, kita akan lebih mengutamakan ego masing-masing. Akhirnya kita sendiri yang lelah dan kita yang merasa bersalah atas satu sama lain. La, kamu tahu. Aku sangat belajar banyak darimu, bahkan saat kita sudah berpisah sekalipun. Kamu adalah orang pertama yang Aku sayangi dengan sepenuh hati, kamu juga orang pertama yang terlalu dalam menyakiti. Aku tahu, tak semuanya menjadi salahmu. La, seperti yang Aku bilang. Aku sangat bahagia, bahkan sampai sekarang saat bertemu denganmu. Kadang kita perlu belajar bukan cuma tentang mengikhlaskan. Tapi juga belajar untuk memperbaiki diri lagi. Saat aku kehilanganmu, akhirnya Aku belajar lagi untuk mengontrol ego, dan mendewasakan diri lagi. La berpisah denganmu jujur memang sakit, tapi akhirnya Aku tahu mana yang harus aku perbaiki dari diriku. Sebelum akhirnya Aku menemukan Kania, dan bisa mendampinginya selamanya.”
Entah perasaan apa ini. Sakit, tapi tidak terlalu sakit. Aku merasa belajar dari Arsa. Dia sungguh sangat berubah. Sedangkan Aku masih sama saja.
“La, Aku yakin kamu bisa. Kamu pasti bisa menemukan seseorang yang akan kamu cintai selamanya. Pulihkan dirimu dulu, legakan hatimu. Jika suatu saat nanti kamu telah menemukan pria yang jauh lebih baik dariku. Jangan lupa mengabari.”
Aku tersenyum. Arsa sungguh baik, dia selalu memberikan doa dan ucapan baik kepadaku. Sama seperti dulu.
“Sa, satu jam lalu. Aku merasa sedikit sedih saat kamu datang dan meminta tanda tangan. Tapi sekarang, Aku merasa sangat lega. Aku sangat belajar darimu, kamu adalah salah satu orang yang banyak membantu dalam hidupku. Terima kasih telah datang, membawa kabar, dan menuntaskan masa laluku. Akan ku usahakan untuk datang bulan depan.”
Arsa mengulurkan tangan. Kami saling berjabat tangan, pertemuan singkat dan mengesankan. Mungkin setelah ini, Aku akan menulis buku lagi. Mengisahkan ruang-ruang indah kita dulu, sebagai kenangan yang abadi. Hanya sekadar dikenang saja bukan untuk di sesali. Terima kasih Arsa.
Saling bertemu dalam ruang bertamu
Kita dipersatukan oleh waktu
Tapi akhirnya waktu memberikan batasannya untuk kita bisa bersama
Sekian tahun telah berlalu
Waktu memberi kesempatan untuk kita berjumpa dan saling bertegur sapa
Tapi sayangnya waktu untuk bersama sudah tak ada
Kamu menjalani kehidupanmu, begitupun aku
Biarlah sekarang menjadi pertemuan yang sederhana, tanpa membawa perasaan lama