#Sajaklara: Jingga Batas Pantai
Hari ini adalah hari spesial buatku, tepat tanggal 22 Desember 2019, Sahabat terbaikku Milo berulang tahun ke 18. Aku dan Milo telah bersahabat sejak duduk dibangku sekolah Dasar. Oh ya, sebelumnya perkenalkan, Aku Lila. Aku dan Milo sudah saling kenal, sejak SD kami selalu berangkat sekolah bersama. Maklumlah Ayahku selalu mengantar kami berdua ke sekolah. Rumahku dan rumah Milo sangat dekat ya, hanya berjarak 3 rumah saja.
SD, SMP, hingga SMA kami selalu bersama. Satu kelas, bahkan satu bangku. Sesuai janji, hari ini kami akan merayakan pesta bersama. Jangan pikir Aku dan Milo, merayakan pesta mewah di tempat fancy layaknya anak remaja zaman sekarang. Kami berdua memiliki prinsip yang sama, yakni Jangan suka pamer kekayaan orangtua. Jadi dibanding membuang-buang uang untuk hal yang tidak penting atau sekadar eksis di media sosial, lebih baik pergi ke tempat lain.
Sore ini kami berjanji, untuk pergi ke Pantai. Melihat sunset sambil menyantap jagung bakar. Jangan kira kami berdua ini, berpacaran. ‘Kita, masih bersahabat, dengan baik. Selamanya akan seperti itu’, begitulah kata Milo setiap kali Aku merasa sedih dan butuh teman bercerita.
“Lo, pastiin kita nggak kena macet ya. Aku nggak mau kita nggak sempet lihat sunset.” Ucapku dari belakang punggungnya. Milo masih tak menyahut, suaraku lebih pelan dibanding suara angin sore ini. Aku mendekat, sampai akhirnya ku sandarkan daguku pada bahunya yang lebar. Ku ulangi kalimat yang sama seperti Tadi.
“Lo, jangan sampai kita kena macet, nanti nggak keburu lihat sunset.”
“Udah tenang aja.”
Aku selesai berbicara, tapi daguku masih bersandar di bahu Milo.
Kami melewati jalan-jalan tikus agar terhindar dari lampu merah. Milo memang jagonya lincah, ia selalu pandai mencari jalan tikus di kota Madya Semarang ini. Padahal Aku yang sejak lahir tinggal di sini tak paham betul jalan-jalan kecil yang ada di kompleks rumah.
Sampai. Milo memarkirkan motor, semilir angin berhembus. Pantai ini tidak terlalu ramai, hanya segelintir orang yang datang untuk menikmati sore. Pantai Marina, pantai ini biasanya dijadikan tempat jogging oleh warga Semarang, kadang setiap perayaan Tahun Baru tempat ini selalu penuh karena ada konser musik. Kami duduk bersebelahan, saling menatap laut lepas.
Aku menghela napas, “Haahh… Indahnya langit jingga.”
“Iya, mau makan jagung bakar?” tawar Milo. Aku menganggukan kepala penuh semangat.
Milo beranjak dan membeli jagung bakar. Aku masih memandang laut lepas. “Nih.” Tak butuh waktu lama jagung bakar hangat sudah siap disantap.
“Sorry, Aku cuma bisa traktir kamu jagung bakar.”
“Jagung bakarnya enak kok, jadi nggak masalah. Lagian, tiap hari kamu tratir aku, makan di kantin, beliin es krim, pas lagi ngerjain tugas, dan kalo main ke rumah. Setiap pergi sama kamu, Aku selalu seneng.”
“Syukurlah. Aku juga seneng kalo kamu seneng.”
Jagung bakar kami habis, langit jingga kini semakin menitis. Bagiku ini adalah momen yang romantis, Aku tak peduli siapa yang bersamaku. Apakah itu Milo sahabatku, ataupun orang lain. Aku menyukai langit jingga di ujung garis laut depan sana.
“La, setelah lulus nanti kamu mau ngelanjutin kuliah dimana?”
“Aku mau di kedokteran UGM atau nggak UNDIP. Kamu?”
“Belum tahu. Masih bingung”
“Kok belum tahu, padahal sebentar lagi UN. Terus Ujian Masuk Perguruan Tinggi kok masih bingung sih.”
“Iya ya, hmmm… Mungkin kamu boleh cerita kenapa kamu pilih kuliah kedokteran. Siapa tahu itu bisa bantu Aku.”
“Emmm. Pertama, Aku suka materi Biologi, Kimia, dan Fisika. Kedua, Aku termasuk siswa yang cerdas di sekolah. Ketiga, Aku mau nolong orang dengan cara ini. Aku emang pengen punya pekerjaan yang nggak cuma menghasilkan uang, namun juga ada visi sosialnya. Dokter itu pekerjaan mulia, dan dikagumi banyak orang. Jadi Aku ingin dan sangat bersemangat untuk menjadi dokter.”
Milo tertawa kecil, dia seperti meledek. Aku menegurnya dan sedikit marah, tapi ia berkata tidak bermaksud begitu. “Baru cerita soal alesan aja kamu udah seneng banget, gimana kalau masuk beneran.”
“Pasti bahagia banget.”
“Meskipun itu artinya kita nggak sama-sama lagi.”
Senyumku menurun. Aku sadar apa yang dikatakan Milo barusan. Aku masih belum bisa membayangkan menjalani masa kuliah tanpa ada Milo.
“Aku bakal ke Ausie La. Aku udah keterima di sana.”
Jantungku serasa berhenti. Berita baik yang sebetulnya tak ku sukai. Aku, Senang Milo bisa sejauh itu, tapi Aku masih ingin terus di samping Milo.
“Bagus, kamu hebat.”
“Kamu nggak memohon Aku buat nggak pergi.”
Aku menggeleng. Meskipun sangat ingin mengatakan jangan pergi, Aku adalah teman baik untuk Milo. Aku nggak mau ngalangin sahabat yang ingin sukses.
“Maaf ya La. Aku harus pergi dan ninggalin kamu.”
Aku tersenyum, “Masih ada Skype, WA, dan media sosial Lo. Kenapa harus ngerasa berat ketika teknologi membuat kita dekat.”
“Karena Aku sayang sama kamu.”
“Kamu bilang kita bersahabat, kita akrab, dan kita tumbuh bersama. Tapi, kenapa sekarang kamu bilang sayang?”
Milo masih diam. Ia masih kaku.
“La, semua orang akan jatuh cinta kepada lawan jenisnya jika ia terus bersama. Kamu bukan hanya cewek yang nebeng di motorku setiap berangkat dan pulang sekolah, kamu bukan hanya temen belajar setiap ada PR dari guru, kamu bukan hanya tetangga yang selalu gangguin Aku setiap hari minggu. Kamu adalah orang yang selalu ada untuk Aku.”
Aku bingung harus menjawab apa. Perasaanku terhadap Milo menjadi aneh, Aku sayang dengan Milo. Tapi Aku tak yakin rasa sayangku kepadanya sama seperti apa yang ia rasakan padaku. Aku masih tak bisa berkata apapun saat ini.
“La, mau jadi pacar Aku?”
“Kita belum dewasa Lo. Kita masih…”
“Anak-anak? Kita udah sama-sama 17 tahun.”
“Dewasa artinya apa sih Lo? Apa cuma kita yang udah dapet KTP atau ngerayain Sweet Seventeen? Dewasa bukan persoalan angka Lo. Dewasa artinya kita harus tanggung jawab dengan apa yang kita pilih.”
“Dan Aku milih kamu La, buat jadi pacar Aku.”
Aku bingung. Mungkin iya, Aku menaruh perasaan sayang sedikit kepada Milo akhir-akhir ini. Tapi untuk berpacaran, bahkan untuk pacaran jarak jauh aku belum yakin akan sanggup menjalaninya.
“Kenapa kita nggak sahabatan aja selamanya Lo. Aku belum siap untuk kita pacaran, apalagi LDR. Akan ada banyak kesalahpahaman, pertengkaran, dan akhirnya kita putus. Merasa asing satu sama lain.”
“Kenapa kamu menakutkan hal yang belum pasti terjadi La. Aku serius sayang sama kamu. Menurutmu mungkin menjadi sahabat selamanya itu indah, tapi enggak menurutku. Aku nggak bisa menahan diri waktu kamu dideketin cowok lain, Aku nggak bisa terus dengerin kamu yang cerita tentang cowok lain selain itu. Mungkin persahabatan kita tampak indah, tapi itu menyakitkan buatku La.”
Matahari sudah terbenam. Langit jingga telah berubah menjadi petang. Lampu-lampu sudah dinyalakan. Rencana kami untuk melihat senja gagal, kami justru saling berdebat.
“Maaf, kita emang lebih cocok temenan. Aku juga sayang sama kamu Lo, tapi Aku nggak bisa diminta untuk pacaran. Aku lebih suka kita temenan.”
Milo mangguk-mangguk, obrolan kita terhenti.
“Kita pulang sekarang. Gak ada lagi yang kita obrolin sekarang, hari juga udah malam.”
Di perjalanan pulang tak ada obrolan. Aku tahu akan sangat canggung jika aku berusaha mengatakan sesuatu yang menghibur hatinya. Inilah yang Aku takutkan. Hubungan persahabatan yang merenggang karena cinta.
Sampai di depan rumahku. Milo masih diam, Aku juga bingung berkata apa. Namun Aku ucapkan terima kasih padanya, Milo mengangguk dan mendorong mundur motornya.
“Milo..” teriakku.
Milo berhenti dan menoleh.
“Maaf soal tadi.”
“Iya. La, Aku bakal nembak kamu jadi pacarku lagi, selepas pulang dari Ausie.”
“Emmm… Aku nggak yakin. Kecuali, kamu bisa yakininku.”
“Aku akan berusaha yakinin kamu. Aku mohon tunggu Aku.”
3 tahun selepas itu.
Aku duduk lagi, di tepi pantai tepat saat Aku dan Milo dulu menghabiskan waktu sore untuk menikmati senja. Aku duduk sendirian, Milo masih belum pulang dari Ausie. Selepas kejadian yang lalu butuh 5 bulan agar kami akrab kembali. Milo masih menyimpan perasaannya padaku, setiap kali ia bilang jujur, Aku hanya tersenyum. Setiap satu minggu sekali ku habiskan waktuku di sini. Menenangkan memang menatap senja sendirian. Aku memang masih ingat pertengkaran kami berdua. Sayangnya pantai ini lebih banyak kecerian dan kebahagiaanku bersama Milo, dibanding pertengkaran itu.
“Lila!”
Aku menoleh, lelaki yang sekitar 3 tahun lalu menyatakan perasaanya kepadaku kini sudah pulang.
“La, Kamu mau tunangan sama Aku.” Ucapnya tiba-tiba sambil menjulurkan cincin. Dengan posen berlutut ibarat melamar seorang gadis pujaan.
“Kamu bilang kemarin pacaran, kemarin sekarang tunangan. Terus posenya kek ngelamar gini.”
“Aku nggak mau pacaran. Aku mau tunangan dan langsung nikah.”
“Kamu mau kan. Aku udah berusaha keras untuk yakinin kamu. Ini cara terakhirku.”
Aku tersenyum. Jika ditarik kembali, Aku ingat kata yang ku lontarkan saat itu. Apa itu dewasa? dan bagaimana Aku bertanggung jawab atas apa yang ku pilih. Milo, masih berlutut. Aku tersenyum.
Ku raih tanganku. Ku minta ia untuk berdiri tegap.
“Iya Aku mau.”
Milo teriak keras, ia memasangkan cincin itu di jari manisku. Ya, Aku merasa pilihanku 3 tahun yang lalu benar. Meskipun tak banyak kisah persahabatan yang berakhir sepertiku dan Milo. Tapi percayalah jika kita menyakini dan bertanggung jawab atas pilihan itu, kita pasti bahagia. Sama seperti Aku sekarang.